Kamis, 24 Mei 2012

TENTANG RABIES


TENTANG RABIES

1.    Pendahuluan
Penyakit rabies atau yang dikenal masyarakat disebut penyakit Anjing gila merupakan penyakit zoonosa menyerang susunan syaraf pusat, sangat berbahaya bagi hewan dan manusia karena selalu menyebabkan kematian bila gejala penyakit timbul.
Rabies ini telah tersebar di seluruh dunia dan tidak mengenal strata negara baik negara berkembang maupun negara maju seperti Inggris, Swedia, New Guinea, Jepang, Malaysia, Taiwan, hongkong termasuk Indonesia.
Berdasarkan laporan OIE (Organization International des Epizooties) menyatakan bahwa penyakit Rabies di negara berkembang merupakan urutan nomor 2 (dua) yang paling ditakuti wisatawan mancanegara setelah penyakit malaria.
Jawa Barat salah satu daerah yang 4 (empat) tahun terakhir ini tidak ditemukan lagi kasus positif pada hewan, dimana kasus terakhir pada tahun 2001 ditemukan di Desa Warungdoyong Cikole, Kota Sukabumi, dan Desa Girimukti, Sindangberang, Cianjur.
Upaya yang telah dilaksanakan adalah melalui pembenahan organisasi dari tingkat Kecamatan (Tikor) sampai ke tingkat Propinsi dengan penerapan metoda Local Area Specific Problem Solving dengan pusat pemberantasan di tingkat desa serta melakukan tindakan vaksinasi bagi anjing piaraan dan melakukan eliminasi bagi anjing liar.
Kegiatan ini telah dilaksanakan sejak tahun 1991 dan telah diperbaharui dengan adanya surat keputusan bersama Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PPM dan PLP), Direktur Jenderal Peternakan dan Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah tanggal 6 April 1999.
Dalam rangka sosialisasi akan bahaya Rabies pemerintah daerah Jawa Barat telah melakukan gerakan dengan komando langsung Gubernur Jawa Barat dengan jajarannya sampai ke tingkat desa dengan menggerakan seluruh aparat terkait termasuk unsur penerangan, Majelis Ulama, sektor Pariwisata dan unsur lainnya yang dapat menggerakan seluruh masyarakat pada semua lapisan.

2.    Dasar Hukum

2.1.    Undang-Undang No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan.
2.2.    Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1997 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan.
2.3.    Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner.
2.4.    Surat Keputusan Bersama 3 Menteri Tahun 1978 (SK Menkes No. 279A, Mentan No. 522, Mendagri No. 143) tentang Peningkatan Pemberantasan dan Penanggulangan Rabies.
2.5.    Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 487/Kpts/Um/6/1981 Tahun 1981 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan Menular.
2.6.    Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1096/Kpts/Kucing, Kera dan Hewan sebangsanya ke Wilayah/Daerah Bebas Rabies di Indonesia.
2.7.    Surat Keputusan Bersama 3 Direktur Jenderal Tahun 1989 (SK Dirjen PUOD No. 443.4-531, Dirjennak No. 234, Dirjen PPM&PLP No. Agno.366.I/PD.03.04) tentang Pelaksanaan Kegiatan Pembebasan Rabies di Daerah Pulau Jawa dan Kalimantan sekaligus pembebasan Rabies se Pulau Jawa dan Kalimantan sekaligus pembebasan Pulau Sumatera dan Sulawesi, 3 Direktur Jenderal Tahun 1999 (Dirjen PPM&PLP No.KS.00-01-1.1554, Dirjennak No. 99, Dirjen PUOD No.443.2-270) tentang Plekasanaan Kegiatan Pembebasan dan Mempertahankan Daerah Bebas Rabies di Wilayah Republik Indonesia.
2.8.    Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan nomor 103/TN.510/Kpts/DJP Tahun 1998 tentang jenis-jenis Penyakit Hewan Menular yang mendapat Prioritas Pengendaliannya.
2.9.    Surat Keputusan Direktur Jenderal Produksi Peternakan Nomor.95/TN.120/Kpts/DJP/Deptan Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pemasukan Anjing, Kucing, Kera dan Hewan sebangsanya dari Negara, Wilayah/Daerah Bebas Rabies ke Wilayah/Derah Bebas Rabies di Indonesia.

3.    Tujuan
Mempertahankan Propinsi Jawa Barat Bebas Rabies

4.    Sifat Alami Penyakit Rabies

4.1.    Sejarah Rabies
Di Indonesia Rabies pertama kali dilaporkan pada kerbau oleh Esser (1884), kemudian oleh Penning pada anjing (1889) dan oleh E.V. de Haan pada manusia (1894). Selanjutnya selama pendudukan Jepang situasi daerah tertular Rabies tidak diketahui dengan pasti, namun setelah Perang Dunia Ke-II peta Rabies di Indonesia berubah. Secara kronologis tahun kejadian penyakit Rabies mulai di Jawa Barat (1948), Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), DI. Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulawesi Tenggara (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan Tengah(1978), Kalimantan Selatan (1983) dan P. Flores (1997). Pada akhir tahun 1997, wabah Rabies muncul di Kabupaten Flores Timur – NTT sebagai akibat pemasukan secara illegal anjing dari Pulau Buton – Sulawesi Tenggara yang merupakan daerah endemik Rabies. Sampai dengan saat ini selain beberapa propinsi di Kawasan Timur Indonesia yang tersebut di atas pulau-pulau kecil di sekeliling Pulau Sumatera masih dinyatakan bebas Rabies.

4.2.    Epidemiologi
Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus, bersifat akut serta menyerang susunan syaraf pusat hewan berdarah panas dan manusia. Rabies bersifat zoonosa artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dengan gejala yang sangat memilukan. Virus Rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan disebabkan melalui gigitan atau jilatan.

Etiologi
Virus Raabies adalah golongan Mononegavirales, Family Rhabdoviridae, genus Lyssavirus. Family Rahbdoviridae dibagi dalam dua golongan yaitu Vesiculovirus yang terdiri dari virus penyebab vesicular Stomatitis dan Lyssavirus yang terdiri dari Rabies.

4.3.    Hewan Peka
Pada umumnya semua hewan berdarah panas dapat terserang dan menularkan Rabies. Di Indonesia anjing, kucing dan kera/monyet berpotensi menularkan Rabies.

4.4.    Cara Penularan
Di Indonesia, terutama di daerah-daerah pedesaan yang sering terjaddi kasus penyakit, hinggas saat ini belum ada kasus Rabies baik pada hewan maupun manusia yang ditularkan melalui saluran pernafasan.
       
Virus Rabies masuk ke dalam tubuh manusia atau hewan melalui :
a.    Luka gigitan hewan penderita Rabies
b.    Luka yang terkena air liur hewan atau manusia penderita Rabies

4.5.    Kejadian Rabies di lapangan
Kejadian (kasus) positif Rabies di lapangan ditentukan atau dipengaruhi sekurang-kurangnya oleh 3 (tiga) hal sebagai berikut :
4.5.1.    Pola Penggigitan
Ada 2 pola penggigitan oleh anjing terhadap manusia yang lazim terjadi di daerah-daerah pedesaan yaitu :

-    Penggigitan karena ada Provokasi :
Penggigitan yang terjadi di sini didahului oleh adanya gangguan langsung atau tidak langsung. Pada anjing yang sedang beranak biasanya naluri untuk melindungi anaknya sangat kuat sehingga sangat mudah sekali anjing menyerang dan menggigit apalagi kalau diganggu.
Bentuk-bentuk “provokasi” terhadap anjing sangat beragam dari mulai memukul, menyeret ekor sampai dengan menggoda anjing yang sedang tidur. Hal tersebut akan menstimulasi anjing untuk menggigit. Bahkan pada kejadian lain orang membawa makanan yang lewat di depan anjing yang sedang lapar dapat memicu terjadinya penggigitan.
Penggigitan-penggigitan yang disebabkan oleh adanya provokasi apalagi dilakukan dengan sengaja, tidak menjadi persoalan serius dalam kejadian Rabies di lapangan. Walaupun tetap harus diwaspadai melalui kegiatan observasi, apalagi diketahui anjing tersebut belum divaksin.

-    Penggigitan tanpa Provokasi
Dalam hal ini anjing menyerang dan menggigit secara tiba-tiba tanpa adanya gangguan dalam bentuk apapun. Di lapangan, anjing yang menggigit secara tiba-tiba tadi biasanya sudah menjadi “wandering-dog” atau anjing “lontang-lantung” yang berjalan tanpa tujuan dan menyerang serta menggigit siapa saja yang ditemuinya. Anjing tersebut biasanya adalah anjing liar atau anjing-anjing peliharaan yang ditelantarkan sehingga menjadi liar.
Anjing-anjing yang menggigit tanpa provokasi inilah yang banyak menimbulkan persoalan dalam kejadian Rabies di lapangan. Apalagi kalau menggigit lebih dari satu orang, berdasarkan pengamatan pasti positif Rabies.

4.5.2.    Pola Penyebaran
Penulaaran Rabies di lapangan (rural Rabies) berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan cirri khas yang ada di pedesaan yang berkembang sangat fluktuatif dan sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis. Secara alami dan yang sering terjadi pola peenyebaran Rabies.

Pada umumnya manusia merupakan “dead end” atau terminal akhir dari korban gigitan. Karena sampai saai ini belum ada kasus manusia menggigit anjing. Baik anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar maupun anjing pelihara, setiap saat dapat menggigit manusia. Sementara itu anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar dan anjing pelihara dapat saling menggigit satu sama lain. Kalau salah satu diantara anjing yang menggigit tersebut positif Rabies, maka akan terjadi kasus-kasus positif (+) Rabies yang semakin tinggi.

4.6.    Tipe dan Tanda-Tanda Penyakit pada Hewan/Manusia

4.6.1.    Tipe Rabies

a.    Rabies Ganas :
-    Tidak menuruti lagi perintah pemilik
-    Air liur keluar berlebihan
-    Hewan menjaadi ganas, menyerang atau menggigit apa saja yang ditemui dan ekor dilengkungkan ke bawah perut di antara dua paha
-    Kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4 – 7 hari sejak timbul gejala atau paling lama 12 hari setelah penggigitan

b.    Rabies Tenang :
-    Bersembunyi di tempat gelap dan sejuk
-    Kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat
-    Kelumpuhan, tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan
-    Kematian terjadi dalam waktu singkat

4.6.2.    Tanda Rabies Pada Hewan

1.    Anjing :
Menggonggong menyerang secara tiba-tiba, anjing tidak lagi mengenal tuannya, banyak mengeluarkan air liur, menggigit segala sesuatu, kesulitan melihat, berjalan tanpa arah, rahang turun, tidak mampu menelan, makan tanah dan batang kayu, sukar bernafas, muntah, susah berjalan, kelumpuhan, ekor menggantung, terletak di antara kaki belakang.

2.    Kucing :
Menjadi sangat agresif, lebih sering mengeong, dan menyerang secara tiba-tiba.

3.    Kuda :
Pada mulanya digigit oleh anjing yang menderita Rabies atau hewan penular Rabies lain, kemudian kuda berjalan sempoyongan, tidak mampu menelan, sulit berjalan, lemah, kelumpuhan, menyerang dan menggigit.

4.    Sapi :
Sapi pada mulanya digigit oleh anjing yang menderita Rabies atau hewan penular Rabies lain, kemudian sapi menunjukkan gejala melenguh keras, banyak mengeluarkan air liur, tercekik, menyerang, eperti menghirup angina, tidak dapat menelan, lemah, sulit berjalan, kelumpuhan.

5.    Domba dan Kambing
Awalnya digigit oleh anjing yang menderita Rabies atau hewan penular Rabies lain, kemudian kambing/domba sering mengembik, kaki belakang lamah, sulit berjalan, menyerang, melakukan aktifitas seksual berlebihan, mengais-ngais, menggigit ekor dan putting dan membenturkan kepalanya ke dinding/tembok.

6.    Babi :
Awalnya babi digigit oleh anjing, kemudian babi brsifat menyerang, menggigit secara ganas/liar.

7.    Keledai :
Pada mulanya keledai digigit oleh anjing, kemudian keledai suka menggigit dan menyerang.

8.    Binatang liar :
Tampak jinak, memasuki rumah dan halaman, binatang malam tampak sering terlihat di siang hari, menyarang manusia dan benda apapun secara tiba-tiba, terjadi kelumpuhan.

4.6.3.    Tanda Rabies pada Manusia :

-    Untuk mengetahui tanda-tanda Rabies pada manusia, yang pertama harus diperhatikan adalah riwayat gigitan oleh hewan seperti anjing atau hewan penular Rabies (HPR) lainnya.
-    Pada manusia stadium permulaan sulit diketahui, biasanya didahului dengan sakit kepala, lesu, mula, nafsu makan menurun, gugup dan nyaeri tekan pada luka bekas gigitan.
-    Pada stadium lebih lanjut :
•    Air liur dan air mata keluar secara berlebihan
•    Peka terhadap sinar, suara yang keras dan angina yang kencang
•    Ciri khas dari penderita Rabies adalah rasa takut yang berlebihan terhadap air (hydrophobia)
•    Kejang-kejang dan disusul dengan kelumpuhan
•    Pada umumnya penderita meninggal 4 – 6 hari kemudian setelah gejala/tanda-tanda di atas timbul
4.7.    Patologi

Perubahan umumnya terjadi di susunan syaraf pusat. Pada selaput otak tampak padat dan biasanya ditemukan adanya oedema. Pada hewan yang terkena Rabies apabila dibuka di daerah perut biasanya ditemukan benda asing seperrti kayu, batu atau sepotong logam. Sedangkan dilihat di bawah mikroskop akan ditemukan cytoplasmic inclusion bodies (negri bodies) pada sel-sel syaraf. Pada umumnya banyak ditemukan di dalam hippocampus tetapi kadang-kadang juga ditemukan di ganglia.

5.    Diagnosa

Rabies dapat didiagnosa melalui tanda-tanda klinis pada hewan yaqng terjadi di lapangan dan melalui pemeriksaan laboratoris dengan memeriksa spesimen.

5.1.    Diagnosa Lapangan
Untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, cara yang paling tepat adalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
-    Anjing yang menggigit harus ditangkap dan diobservasi
-    Riwayat penggigitan, ada tidaknya provokasi
-    Jumlah penderita gigitan

5.2.    Diagnosa Laboratorium
Cara yang paling sederhana untuk menentukan Rabies secara laboratorium adalah dengan menemukan Negri bodies (typical inclusion bodies) pada preparat ulas jaringan otak (hypocampus) yang telah diwarnai dengan pewarnaan Sellers.
Kadang-kadang negri bodies tidak terdeteksi, karena itu perlu dilakukan ioculasi jaringan otak pada tikus putih. Hasilnya baru diketahui setelah 21 hari, dimana tikus tersebut mati dan jaringan otaknya kemudian diperiksa dengan metoda Sellers sebagaimana di atas.
Metoda pemeriksaan yang lebih canggih untuk mendiagnosa Rabies adalah dengan Flourescence Antibody Test (FAT). Dengan Methoda FAT hasilnya akurat dan cepat, sedangkan preparat yang diperlukan untuk pembuatan FAT bisa yang masih segar, beku atau spesimen dalam glycerol. FAT juga dapat mendeteksi virus Rabies yang berasal dari preparat kelenjar ludah (salivary glands).
Pengiriman sampel untuk pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan sebagai berikut :
-    Kepala anjing mati dikirimkan ke laboratorium (sebaiknya dlam keadaan dingin, di dalam es).
-    Setengah dari belahan otak dalam formalin 10% dan separuh bagian otak lainnya dalam larutan glycerin 50% dapat pula dikirim ke laboratorium.
-    Jika ada tenaga lapangan yang terampil dapat mengirim touch preparat darim otak (hypocampus) ke laboratorium.

6.    Prinsip Pengendalian dan pemberantasan

6.1.    Prinsip Dasar
Rabies adalah penyakit daftar B pada Office International des Epizooties (OIE) yang penting dari aspek sosio-ekonomi dan kesehatan masyarakat. Kebijakan memberantas Rabies dilaksanakan dengan alasan utama untuk perlindungan kehidupan manusia dan mencegah penyebaran ke hewan lokal dan satwa liar. Hal ini dapatdicapai dengan menjalankan gabungan atau kombinasi strategi di di bawah ini :
a.    Karantina dan pengawasan lalu-lintas terhadap hewan penular penyakit.
b.    Pemusnahan hewan tertular dan hewan yang kontak untuk mencegah sumber virus Rabies yang paling berbahaya.
c.    Vaksinasi semua hewan yang dipelihara di daerah tertular untuk melindungi hewan terhadap infeksi dan mengurangi kontak terhadapa manusia.
d.    Penelusuran dan surveillans untuk menentukan sumber penularan dan arah pembebasan dari penyakit.
e.    Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) untuk memfasilitasi kerjasama masyarakat terutama dari pemilik hewan dan komunitas yang terkait.

6.2.    Metoda Pencegahan Penyebaran dan Eliminasi Agen Penyebab
Secara alamiah metoda awal untuk mencegah penyebaran Rabies dan eliminasi agen penyebab, adalah dengan cara sedapat mungkin menghindari gigitan, baik dari najing pelihara apalagi gigitan anjing liar atau yang diliarkan. Pendekatan ini terutama harus diterapkan pada anak-anak dan remaja yang berpotensi mendapat serangan gigitan. Mengurangi atau meniadakan  tempat-tempat yang potensial untuk berkumpul dan bertemunya anjing, sekaligus akan mengurangi atau meniadakan kesempatan kontak antar anjing.
Di lapangan sasaran pemberantasan ditujukan terhadap anjing-anjing atau Hewan Penular Rabies (HPR) yang tidak diketahui status vaksinasinya, baik anjing peliharaan maupun anjing liar.

6.3.    Tindakan Karantina dan Pengawasan Lalu-Lintas
Luas daerah rawan (DR) bergantung kepada faktor seperti jumlah dan spesies hewan tertular dan hewan kontak, lokasi geografis, lalu-lintas anjing dan HPR lainnya yang diketahui maupun yang tidak terawasi, resiko terhadap manusia dan kemungkinan pendedahan terhadap satwa liar. Arus lalu-lintas yang tidak terawasi adalah aspek kritis bagi pengendalian Rabies di daerah. Dalam skala praktis di lapangan, daerah (bisa desa, kecamatan, kabupaten) yang bersinggungan/berbatasan dengan daerah tertular/wabah dianggap sebagai Daerah Rawan.
Hewan kesayangan yang dipelihara harus tetap tinggal di dalam rumah sampai keadaan darurat dinyatakan berlalu, dan lalu-lintas anjing dan kucing ke wilayah lain hanya diizinkan oleh pejabat yang berwenang. Keadaan daarurat harus dinyatakan tetap berlaku sampai paling tidak selama masa inkubasi (6 bulan menurut ketentuan OIE) setelah berakhirnya program vaksinasi di DR atau kasus Rabies terakhir.


6.3.1.    Hewan Tertular
Setiap anjing dan HPR yang menggigit harus dianggap sebagai hewan tertular atau tersangka Rabies. Tindakan observasi selama 10 – 14 hari harus diterapkan. Apabila hasil observasi negatif, pemusnahan pasca observasi dapat dilaksanakan berdasarkan kondisi-kondisi tertentu seperti atas permintaan pemilik atau kondisi anjing sudah tidak layak untuk dipelihara lebih lanjut. Hewan seperti sapi, kerbau, domba, kambing dan kuda bukan ancaman bagi penyebaran Rabies (walaupun pada manusia masih tetap menjadi resiko).
Apabila ada bukti yang meyakinkan (laboratoris) bahwa di suatu tempat terjadi wabah Rabies, maka langkah tindakan yang sistematis untuk menanggulangi wabah tersebut harus segera dijalankan, melalui tahapan-tahapan KIAT VETINDO.
Semua anjing dan HPR lain yang berada di wilayah administratif daerah bersangkutan dinyatakan sebagai hewan tertular Rabies yang sah dijadikan sasaran eliminasi. Hewan yang masuk dari luar ke dalam daerah wabah, terutama yang masuk secara ilegal dapat  pula menjadi target pemusnahan. Pemusnahan dilakukan terutama terhadap anjing, kucing dan kera yang mempunyai potensi sangat besar dalam menularkan dan menyebarkan Rabies.

6.3.2.    Hewan Kontak
Hewan-hewan yang kontak dengan penderita Rabies bisa saja menimbulkan masalah yang lebih besar daripada hewan tertular. Tanda-tanda klinis dari hewan tertular dapat terlihat setelah beberapa jam, beberapa hari, satu minggu atau paling lama dua minggu. Meskipun demikian inkubasi penyakit tersebut dapat sampai berbulan-bulan.
Oleh karena itu tindakan karantina untuk memudahkan observasi, baik untuk hewan-hewan yang kontak dengan penderita Rabies maupun anjing atau HPR lain yang menggigit, merupakan prosedur yang harus ditempuh sampai diperoleh kepastian bahwa hewan tersebut bebas Rabies. Pada dasarnya hewan-hewan yang kontak dengan penderita Rabies maupun anjing yang menggigit sama sekali tidak boleh dibunuh sebelum hasil observasi dikeluarkan.

6.3.3.    Tindakan Terhadap Anjing Yang Menggigit
Anjing yang menggigit di daerah wabah dianggap telah tertular sehingga harus ditangkap dan dibunuh. Khususnya kalau anjing itu anjing liar atau diliarkan. Kepala atau otak langsung dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi jiwa manusia dan sekaligus mengurangi korban. Sedangkan kalau anjing tersebut berpemilik perlu dilihat catatan atau informasi mengenai vaksinasinya.
Apabila anjing ternyata telah divaksin maka prosedur observasi selama 10 – 14 hari harus dilaksanakan. Sebaliknya kalau anjing tersebut belum divaksin maka anjing harus dibunuh, selanjutnya kepala atau otaknya dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa.

7.    Pengendalian dan Pemberantasan Melalui Metoda Lab.
Di masa lalu Pengendalian dan Pemberantasan Rabies dilakukan melalui kegiatan vaksinasi dan eliminasi, dengan cara membagi rata jumlah vaksin dan strycnine ke semua wilayah tingkat dua.
Pola semacam ini telah berlangsung lama dan sekarangpun mungkin masih banyak diterapkan di beberapa wilayah/daerah Rabies di Indonesia. Sistem membagi rata alokasi vaksin dan strycnine ke semua daerah berdasarkan kajian yang cukup lama dianggpa tidak dapat menyelesaikan masalah Rabies secara tuntas. Hal ini disebabkan sasaran/target program menjadi tidak fokus, tidak spesifik, tidak berdaya guna dan tidak berhasil guna yang pada akhirnya kasus tetap muncul.
Pada saat ini Pengendalian dan Pembenrantasan Rabies harus dilaksanakan melalui Local area Specific Problem Solving (LAS) – penanganan Rabies melalui pendekatan spesifik wilayah (lokal). Pada prinsipnya Metoda LAS terdiri atas ketentuan-ketentuan spesifik dalam hal-hal sebagai berikut :

7.1.    Lokasi
Hanya di daerah-daerah yangt terjadi kasus atau wabah yang menjadi pusat (focus) kegiatan vaksinasi, ditambah daerah-daerah lainnya yang berbatasan langsung dengan daerah kasus. Sedangkan di luar dari daerah tersebut (tertular dan terancam) kegiatan lebih ditekankan pada pengawasan lalu-lintas hewan rentan Rabies secara ketat dan pembentukan “Sabuk Kebal” melalui kegiatan vaksinasi di sepanjang perbatasan dengan daerah terancam.

7.2.    Perkembangan Kasus Rabies di Jawa Barat

7.3.    Populasi
Populasi yang menjadi sasaran/target vaksinasi dan eliminasi adalah seluruh hewan rentan Rabies/HPR khususnya anjing yang berada hanya di lokasi sebagaimana tersebut pada butir 1. Karena itu penghitungan populasi anjing harus dilakukan dengan betul dan akurat jangan sampai ada anjing yang tidak terdeteksi.

7.4.    Tindakan
7.4.1.    Vaksinasi
Vaksinasi dilaksanakan terhadap semua anjing peliharaan di daerah kasus/tertular/wabah dengan radius 10 km dari titik awal kejadian penggigitan. Pelaksanaan vaksinasi dimulai dari titik tertular menuju ke arah titik awal kejadian penggigitan (berlawanan dengan arah penyebaran). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah atau membendung agar penyebaran Rabies tidak meluas. Pelaksanaan vaksinasi sedapat-dapatnya dilaksanakan secara berkelompok di suatu tempat yang telah ditentukan. Namun vaksinasi dari rumah ke rumah dapat pula dilaksanakan, sesuai dengan kondisi setempat.

7.4.2.    Eliminasi
Terhadap semua anjing liar atau anjing yang diliarkan dilakukan eliminasi total. Pelaksanaannya dilakukan dengan memberikan Strycnine dengan dosis 0,250 mg/ekor. Namun untuk eliminasi dapat pula dilakukan dengan cara-cara lain seperti dengan jerat atau teknik-teknik yang mungkin biasa dilakukan di daerah setempat masing-masing. Kegiatan eliminasi total seluruh anjing liar di wilayah administratif pemerintah terdepan (desa), dimaksudkan untuk membebaskan desa dari keberadaan anjing liar selama-lamanya harus menjadi kegiatan kontinyu sepanjang tahun. Jangan sampai anjing liar baru terdeteksi setelah menggigit korban.

7.4.3.    Sosialisasi
Sosialisasi merupakan kegiatan awal sebelum pelaksanaan vaksinasi dan eliminasi (± 2 minggu sebelum pelaksanaan kegiatan). Kegiatan ini dimaksudkan untuk menciptakan prakondisi yang kondusif agar kegiatan vaksinasi dan eliminasi berjalan dengan baik sesuai rencana. Di samping teknik-teknik yang sudah baku melalui kegiatan penyuluhan dan penerangan melalui berbagai media, teknik-teknik dan cara-cara lokal spesifik untuk menggugah kesadaran masyarakat, dapat pula dilakukan oleh daerah setempat masing-masing.
3.1. Pathogenesa dan Penyebaran Virus
Virus rabies masuk kedalam tubuh pada umumnya masuk kedalam tubuh melalui perlukaan dan melalui gigitan hewan yang terinfeksi Rabies. Gigitan dari hewan yang terinfeksi adalah rute yang paling penting dan paling sering terjadi dalam proses infeksi Rabies. Didalam sebuah review pada tahun 1927-1946 kasus-kasus Rabies pada manusia hampir sekitar 99,8% disebabkan oleh gigitan hewan yang terinfesi Rabies meskipun kasus-kasus Rabies dari bentuk transmisi lain pernah dilaporkan, seperti melalui jilatan terhadap membran mukosa, kontaminasi materi infeksius pada cakaran yang bersifat transdermal bahkan vaksin rabies inaktif yang menyebabkan infeksi juga pernah dilaporkan (Child, 2002). Virus yang masuk kedalam tubuh melalui gigitan akan ber-replikasi dalam otot atau jaringan ikat pada tempat inokulasi dan kemudian memasuki saraf tepi pada sambungan neuromuskuler dan menyebar sampai ke susunan saraf pusat (SSP).
Virus terus ber-replikasi hingga masuk menuju kelenjar ludah dan jaringan lain. Sehingga virus ini pada umumnya menyebar ke hewan lain melalui saliva dari hewan yang terinfeksi (melalu gigitan). Kepekaan terhadap infeksi dan masa inkubasinya bergantung pada latar belakang genetik inang, strain virus yang terlibat, konsentrasi reseptor virus pada sel inang, jumlah inokulum, beratnya laserasi, dan jarak yang harus ditempuh virus untuk bergerak dari titik masuk ke SSP. Terdapat angka serangan yang lebih tinggi dan masa inkubasi yang lebih pendek pada orang yang digigit pada wajah atau kepala.
Virus Rabies mempunyai kemampuan untuk menginfeksi antar sel dan jaringan (in vitro) dan dan dalam sel (in vivo). Virus rabies mempunyai opsi untuk menyebar ke sel yang terinfeksi atau sel sehat melalui jaringan intertisial. Pada tipe penyebaran in vivo, virus menyebar didalam sel khususnya sel-sel saraf perifer dan sel neuron dari SSP melalui transport intraaxonal dan microtube network dependent process.   Virus yang bergerak dalam sistem intraaxonal, mempunyai kemampuan daya jelajah yang tinggi terutama pada neuron bipolar sebelum masuk dan menyebrang kedalam synaps dari suatu sel saraf ke sel saraf yang lain (Wunner, 2002). Secara postulat bahwa nucleokapsid dari virus mungkin ditransportasikan dalam aliran axonplasmic sepanjang axon melalui synaps ke dalam postsynaptic neuron meskipun postulat ini masih dianggap lemah. Studi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kemampuan virus Rabies dalam melakukan menginfeksi sel didalam inang bergantung pada protein G dari virion (Etessami et al., 2000). Studi lain yang menunjukkan bahwa fenotp penyalit Rabies yang diperlihatkan oleh Inang (Dumb Rabies dan Severe Rabies) bergantung pada tipe virus yang menginfeksi SSP (Coulon et al., 1989).

Gambar 4. Susunan sel syaraf
http://civas.net/sites/default/files/images/literature/susunan-sel-saraf.jpg
Sumber: (http://www.steve.gb.com, 2006)

III.2. Epidemiololgy Rabies pada hewan Domestik dan Satwa Liar
Distribusi penyakit Rabies sangat bervariasi untuk setiap belahan dunia. Rabies adalah penyakit zoonosis yang pada umumnya berasal dari satwa liar yang menyerang hewan-hewan domestik dan manusia atau dari hewan domestik yang tertular kemudian ke manusia. Hewan-hewan utama yang merupakan pembawa rabies (HPR=Hewan Pembawa Rabies) umumnya berbeda untuk setiap benua. Di Eropa hewan utama pembawa Rabies adalah rubah dan kelelawar, di Timur Tengah hewan pembawa rabies utama adalah srigala dan anjing, di benua Afrika HPR utama adalah anjing, mongoose dan antelop, untuk Asia ialah anjing, Amerika utara ialah rubah, sigung, rakun, dan kelelawar pemakan serangga dan untuk Amerika selatan HPR yang utama adalah anjing dan kelelawar vampire(http://virology-online.com/, 2010).
Kelelawar dikenal sebagai reservoir utama di alam di berbagai belahan dunia. Banyak dilaporkan perihal kasus Rabies setelah adanya gigitan oleh kelelawar. Hewan domestik yang utama sebagai hewan yang dapat terinfeski rabies adalah anjing, kucing dan ternak. Sedangkan untuk satwa liar HPR umumnya adalah sigung, kelelawar, rubah, tupai, rakun, badgers dan mongoose(http://virology-online.com/, 2010). Satwa-satwa liar inilah yang merupakan sumber penularan Rabies ke hewan-hewan domestik bahkan ke manusia. 
Rabies pada satwa liar umumnya melibatkan satwa karnivora dan kelelawar. Satwa-satwa ini adalah reservoir utama penyakit Rabies yang menularkan ke hewan-hewan peliharaan dan ternak.    Proses translokasi manusia ke daerah-daerah baru merupakan salah satu faktor dalam proses penularan Rabies dari satwa liar ke hewan domestik seperti anjing dan kucing maupun ternak ruminansia. 

Gambar 5. Penularan virus rabies dari hewan liar ke hewan domestik

 http://civas.net/sites/default/files/images/literature/penularan-rabies.jpg

Hampir setiap tahun di Amerika Serikat dan Puerto Rico kasus gigitian HPR satwa liar dilaporkan dengan jumlah proporsi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan hewan domestik seperti anjing dan kucing. Keadaan ini terbalik dengan negara-negara berkembang yang sering melaporkan kasus-kasus gigitan yang berasal dari hewan domestik seperti anjing.

Gambar. 6. Jumlah kasus Rabies yang dilaporkan dari hewan domestik dan hewan liar    pertahun di Amerika Serikat dan Puerto Rico (1976-2006)

 http://civas.net/sites/default/files/images/literature/kasus-rabies.jpg
Sumber : (Center for Disease Control (CDC), 2007)

Rabies di hewan domestik masih merupakan ancaman utama untuk penyakit Rabies di Negara-negara berkembang. Derajat kedekatan antar hewan domestik seperti anjing tanpa pemilik atau menjadi liar dengan manusia serta tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah merupakan hal utama yang menyebabkan tingkat ancaman Rabies oleh anjing lebih besar jika dibandingkan dengan hewan liar di alam meskipun gigitan oleh hewan liar pembawa rabies masih sering di laporkan. Anjing sebagai hewan sahabat bagi manusia merupakan permasalahan yang utama diberbagai negara berkembang khususnya di Asia yang mengalami masalah dalam kontrol populasi anjing liar. Rabies pada anjing pada negara-negara berkembang dapat memelihara proses siklus virus rabies di alam hingga menuju manusia. Pada hewan ternak Rabies juga merupakan salah satu penyakit yang berpotensial merugikan secara ekonomi terlebih di negara-negara Amerika Selatan seperti Argentina, Meksiko dan Brazil. Hal ini terkait dengan sebaran keberadaan kelelawar vampire (Desmodus rotudus) (Acha, 1967) yang memakan darah ternak sebagai salah satu sumber makanannya. Di Amerika Utara sigung dan rakun selalu dikaitkan dengan penyebaran Rabies pada ternak (Krebs et al., 2000).
Di Indonesia HPR utama pada hewan domestik adalah anjing, kucing dan monyet. Serangan yang disebabkan oleh anjing hampir dilaporkan setiap tahun dari berbagai daerah tertular di Indonesia terutama Sumatera Barat, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2008 Provinsi Bali melaporkan adanya kasus gigitan pertama yang dikonfirmasi sebagai rabies.   Ini adalah kasus pertama yang di pernah dilaporkan dari pulau dengan populasi anjing yang tinggi jika dibandingkan dengan provinsi lainnya. Menurut perkiraan sekitar 600 ribu ekor (tidak ada data pasti mengenai jumlah populasi anjing yang sebenarnya di Bali) atau sekiktar 96 ekor per Km2 (Naipospos, 2010)(rasio manusia dengan anjing di Bali yaitu 1:8).   Menurut laporan Departemen Kesehatan Republik Indonesia di Indonesia, kasus gigitan rabies ke manusia mencapai jumlah 20.926 kasus gigitan per tahun pada tahun 2010 yang terlaporkan kepada Dinas-Dinas Kesehatan di seluruh Kabupaten di Indonesia(Departemen Kesehatan, 2008)
Penularan Rabies di Indonesia umumnya berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak dipelihara atau tanpa pemilik (rural Rabies) yang berkembang hingga mencapai populasi yang sulit dikendalikan (Departemen Pertanian, 2007). Keadaan ini-lah yang menyebabkan daerah-daerah di Indonesia menjadi endemis terhadapa Rabies. 
Pola penyebaran Rabies di Indonesia umumnya terjadi pada anjing liar, anjing peliharaan dan manusia.

Gambar. 7. Pola Penyebaran Rabies di Indonesia
                                      http://civas.net/sites/default/files/images/literature/pola-penyebaran-rabies.jpg
Sumber : (Departemen Pertanian, 2007)

III.3. Epidemiologi Rabies Pada Manusia
Manusia adalah salah satu komponen dari siklus penyakit Rabies yang merupakan “dead end” dari siklus penyakit ini karena hampir selalu menyebabkan kematian. Transmisi manusia ke manusia adalah jarang, tetapi hal ini pernah dilaporkan di Perancis pada proses operasi transplantasi kornea mata pada tahun 1980 (Child, 2002). Bahkan pada tahun 2005 dari hasil investigasi kematian 4 pasien yang melakukan transplantasi ginjal, hati dan arterial segment yang mengalami enchepalitis tanpa diketahui penyebabnya. Hasil investagisai menyatakan bahwa terdapat partikel virus Rhabdovirus  penyebab Rabies berdasarkan diagnosa pada SSP dengan mikroskop elektron, immunohistokimia, fluoroscent antibody (FAT) test (Srinivasan et al., 2005). 
Di berbagai belahan dunia sangat susah untuk mengestimasikan jumlah kasus kematian yang disebabkan oleh Rabies. Hal in terkait dengan sistem surveillans dan tidak adanya laboratorium yang cukup dan memadai di berbagai belahan dunia. WHO menyatakan bahwa sekitar 55.000 orang per tahun mati karena Rabies, 95% dari jumlah itu berasal dari Asia dan Afrika (WHO, 2008). Sebagian besar dari korban sekitar 30-60% adalah anak-anak usia kecil dibawah 15 tahun (WHO, 2008). Rute utama penyebaran penyakit Rabies ini adalah gigitan dari anjing yang terkena Rabies . Kematian umumnya disebabkan oleh tidak adanya perlakuan atau kurangnya perlakuan yang baik (post exposure treatment) dari korban yang terkena Rabies.  

III.4. Faktor risiko
Secara umum banyak faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit Rabies. Tetapi hal yang paling umum khususnya dinegara-negra berkembang (seperti di Indonesia) pada hewan domestic adalah pemeliharaan anjing yang dilepaskan tanpa pengawasan, praktek perburuan dengan menggunakan anjing dan lalulintas anjing menjadi salah satu faktor risiko utama penyebaran penyakit ini dari suatu daerah ke daerah lain.
IV. Identifikasi Penyakit
Posted Tuesday, 06/08/2010 by admin
IV.1. Gejala Klinis
Gejala Klinis pada Hewan
Gejala klinis yang diperlihatkan hewan yang terinfeksi Rabies terkait dengan tipe penyakit Rabies dan tahapan yang dilewatin oleh penyakit ini. 

Pada Hewan Rabies dibagi menjadi tiga tipe, yaitu
1.    Rabies tipe Ganas (Furious Rabies), Rabies tipe ini mempunya gejala seperti:
  1. Tidak menurut perintah pemilik
  2. Air liur/Saliva berlebihan
  3. Hewan menjadi ganas, menyerang atau menggit apa saja yang ditemui dan ekor dilengkungkan ke bawah perut atau diantar dua paha
  4. Takut Cahaya
  5. Kejang-kejang yang kemudian disertai kelumpuhan setelah 4-7 hari sejak timbul gejala atau paling lama 12 hari setelah pengigitan.
2.   Rabies tipe Tenang (Dumb Rabies), Rabies tipe ini mempunyai gejala seperti:
  1. Bersembunyi di tempat gelap dan sejuk
  2. Lumpuh, tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan
  3. Kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat
  4. Kematian terjadi dalam waktu singkat
3.    Rabies tipe Asymptomatik (tidak menunjukkan gejala) sering ditandai dengan kematian mendadak tanpa menunjukkan gejala sakit.

Proses perjalanan penyakit Rabies pada hewan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
1.   Tahap Podormal, pada hewan tahap ini ditandai dengan hewalebih sennag menyendiri , menari tempat dingin tetapi dapt menjadi agresif dan gelisah, pupil mata lebar, dan sikap tubuh yang kaku/tegang. Tahap ini berlansgsung sekitar 1-3 hari.
2.    Tahap Eksitasi, pada hewan tahap ini ditandai dengan perilaku hewan yang menjadi ganas dengan meyerang apa saja yang ada disekitarnya, memakan-makan benda-benda aneh, mata keruh dan selalu terbuka dan tubuh gemetar.   Pada tahap ini proses infeksi ke hewan lain dan manusia sering terjadi. Tahap ini berlangsung selama 5-7 hari
3.    Tahap Paralisa, pada tahap ini hewan mengalami kelumpuhan dan berakhir dengan kematian. Tahap ini berlangsung 1-3 hari.

Gejala Klinis pada Manusia
Masa inkubasi di manusia dari penyakit Rabies sangatlah bervariasi, dimulai dari 7 hari hingga beberapa tahun. Hal ini tergantung kepada:
1.    Dosis dari inokulum
2.    Keparahan dari luka hasil gigitan
3.   Jarak luka dengan SSP, seperti luka yang terjadi diwajah mempunyai masa inkubasi yang lebih pendek jika dibandingkan dengan luka di kaki.
Penyakit Rabies dimulai dengan tahap non spesifik atau tahap prodormal yang dikuti oleh gejala, demam, malaise, anorexia, gangguan tenggorokan, sakit otot, dan sakit kepala. Pada daerah sekitar perlukaan korban akan merasakan rasa gatal dan sensasi abnormal. Kemudian tahap ini diikuti oleh tahap dua klinis yaitu hyperexcitability, spasmus dan hydrophobia (furious). Yang lainnya adalah menunjukan gejala rabies untuk tipe Rabies Dumb (http://virology-online.com/, 2010).
Jika terjadi komplikasi biasanya diikuti gejala klinis yang melibatkan SSP, sistem kardiovaskular serta system respirasi. Gejala Cardiac dystrithmia akan diikuti oleh terganggunya pernafasan. Adanya tekanan intracranial menurunkan level kesadaran pada manusia dan fokal konvulsi. Hal ini karena adanya gangguan SSP adalah gangguan thermoregulasi tubuh (http://virology-online.com/, 2010).   
Berikut adalah tanda-tanda penyakit Rabies pada manusia:
a.    Sakit kepala, tidak bisa tidur, demam tinggi, mual/muntah, hilang nafsu makan
b.    Merasa panas atau nyeri atau gatal pada tempat gigitan
c.    Sangat takut pada air dan peka terhadap cahaya, suara serta hembusan udara
d.    Air mata dan air liur keluar berlebihan
e.    Pupil mata membesar
f.    Bicara tidak karuan, gelisah, selalu ingin bergerak dan tampak kesakitan
g.    Kejang-kejang, lumpiuh dan akhirnya meninggal dunia (Departemen Pertanian, 2007)

IV.2. Perubahan patologi antomis
Secara patologi, perubahan patologi yang disebabkan oleh Rabies dapat dilihat secara makroskopis dan mikroskopis.

Perubahan Makroskopik
Perubahan Pathologi utama dari penyakit Rabies adalah perubahan pada SPP berupa enchepalomyelitis. Temuan maksroskopis pada otak untuk rabies yang bersifat akut sangat susah untuk dilihat perubahannya. Otak hanya terlihat sedikit mengalami kebengkakan pada bagian meningeal, pembuluh darah parenkim tersumbat. Temuan lain adalah adanya perubahan pada organ-organ respirasi, dan gagal jantung. Ada pendarahan atau haemorhage atau jaringan nekrosis bukanlah hal yang biasa ditemukan dari Rabies enchepalitis (Iwasaki and Tobita, 2002). Proses inflamasi pada otak yang mirip juga dapat diperlihatkan oleh penyakit lain seperti Japanese enchepalitis.   Pada umumnya perubahan patologi secara makroskopis pada penyakit Rabies sangat bervariasi dan tidak terdapat perubahan patognomonis yang menciri terhadap Rabies (Akoso, 2007). 
Perubahan yang makroskopis lainnya yang sering terlihat ialah adanya perdarahan pada selaput lendir didaerah mulut disebabkan oleh gejala pika atau anjing memakan segala sesuatu yang tidak wajar dan mengigit benda-benda keras yang meyebabkan trauma disekitar mulut. Hal ini sering diikuti oleh perubahan makroskopis yang berupa temuan barang-barang asing di perut seperti kawat, kayu dan sebagainya(Akoso, 2007). 
Gejala klinis yang terlihat dan riwayat penyakit merupakan hal yang penting dalam menunjang proses diagnosa penyakit ini. Pembukaan jaringan selain otak tidak diperlukan karena tidak akan membantu proses diagnosis (Akoso, 2007). Risiko terjadinya pencemaran virus ke lingkungan harus menjadi perhatian. Peralatan penunjang yang baik, lengkap dan proses nekropsi yang baik akan mengurangi risiko terjadi pencemaran terhadap lingkungan. 
Pengambilan sampel berupa kelenjar ludah dan hypochampus dapat dilakukan untuk menunjang diagnosa. Untuk diagnosa banding, jika diperlukan dapat dilakukan dengan pengambilan sampel jaringan lain untuk pemerikasaan lebih lanjut. 

Perubahan Mikroskopik
Secara histologis tdak ada perubahan secara spesifik yang terjadi pada jaringan selain pada otak, terkecuali jika diikuti komplikasi dengan penyakit lain. Secara umum akan terlihat normal tanpa ada perubahan spesifik. Perubahan yang paling signifkan atau patognomonik adalah adanya badan negeri (negri bodies) yaitu badan inklusi yang terdapat pada sitoplasma sel neuron yang diinfeksi oleh Rabies(Akoso, 2007). 
Hal yang unik lainnya yang dapat dilihat dari Rabies adalah adanya persitensi virus dalam organ extraneural. Pada kasus-kasus Rabies yang bersifat dumb atau paralytic Rabies dengan bentuk awal dan prominent paralysis, perubahan pada saraf spinal akan sangat terlihat bahkan pada beberapa kasus organ otak juga akan terlihat perubahan denagn memeperlihatakan gejala inflamasi pada batang otak (Iwasaki and Tobita, 2002). 
Adanya perlakuan postexposure, vaksin Rabies dan perlakuan lainnya memungkinkan perubahan patologi yang bervariasi tetapi hal yang paling penting adalah adanya badan negri dan Nodul glial pada temuan pathologi penyakit yang disebabkan Rabies(Iwasaki and Tobita, 2002)
Tidak adanya temuan badan negri pada setiap kasus dengan gejala Rabies terkadang terjadi. Hal ini disebabkan karena tidak terjaringnya badan negri dalam sampel jaringan. Keberadaan badan negri sangat jarang, sehingga penjaringan sampel yang tepat untuk Rabies dan pengamatan hewan tersangka (sampai dengan 14 hari) sangatlah penting adanya.  
Pengambilan sampel sebaiknya diambil pada jaringan dengan neuro besar seperti hipokampus, mesenfalon, otak kecil dan berbagai macam ganglia (Akoso, 2007) sehingga kemungkinan untuk mendeteksi adanya badan negri lebih besar.

IV.3. Pengujian Laboratorium
Diagnosis Rabies
Prosedur diagnosis Rabies dilakukan pada umumnya jika terdapat laporan kasus gigitan terhadap manusia atau secara potensial terdapat kasus yang menyebabkan Rabies. Proses diagnosis pemeriksaan post mortem adalah pemeriksaan paling umum dilakukan dalam proses diagnosis Rabies. Proses pemeriksaan post mortem memberikan kontribusi yang paling besar dalam proses diagnostik selain berbagai metode lain untuk menunjang proses diagnosis dan gejala klinis dari hasil pengamatan serta riwayat penyakit adalah penunjang lain dalam proses diagnosis(Trimarchi and Smith, 2002).
Temuan badan negri telah menjadi hal yang paling sering menjadi acuan dalam proses diagnosa selama lebih dari 100 tahun semenjak ditemukan pertama kali oleh Adelchi Negri pada tahun 1903.   Dengan perkembangan teknologi saat ini berbagai prosedur diagnosis lain berkembang dengan tingkat spesifitas dan sensitivitas yang lebih tinggi dengan melakukan deteksi pada virion dari virus, protein spesifik pada virus, dan genome RNA pada virus. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pengamatan langsung partikel virus, deteksi protein virus dengan visualisasi adanya reaksi antara antibodi yang telah dilabel dan sebagainya.

IV.4. Pengambilan dan Pengiriman Sampel
Koleksi dan Preservasi Sampel
Untuk mendiagnosa Rabies, selain memperhatikan riwayat penyakit, gejala klinis dan gambaran patologi, pemeriksaan spesimen secara laboratoris perlu dilakukan. Diagnosa secara laboratoris didasarkan atas penemuan antigen rabies, penemuan badan negeri dan penemuan virus rabies pada spesimen yang diperiksa. Oleh karena itu pemilihan bahan pemeriksaan serta cara pengepakan dan pengirimannya ke laboratorium adalah satu faktor penting untuk menunjang proses diagnosa.
Koleksi spesimen sebaiknya diperhatikan semenjak proses euthanasia secara baik dan benar menurut kaidah-kaidah kesejahteraan hewan. Prose euthanasia sebaiknya dilakukan sehingga tidak merusak bagian kepala. Hal ini dapat dilakukan dengan injeksi barbiturate atau non barbiturate atau gas. Kemudian bangkai secepatnya didinginkan untuk menghambat proses dekomposisi dan autolysis dari otak yang dapat menggangu proses diagnosis selanjutnya(Trimarchi and Smith, 2002). 
Pengambilan sampel jaringan untuk prosedur diagnosis laboratorium adalah salah satu faktor yang penting. Pengambilan sampel jaringan yang tepat akan menunjang diagnosa, karena badan negri sebagai ciri patognomonis pada Rabies tidak dapat selalu ditemukan pada semua jaringan dalam tubuh tetapi pada jaringan-jarinagan syaraf besar, seperti hipokampus, ganglia, mesenfalon dan otak kecil (Akoso, 2007). 
Kelenjar ludah dapat mengandung antigen dan virus tetapi badan negeri tidak selalu dapat ditemukan pada kelenjar ludah HPR. Kontaminasi pada spesimen merupakan suatu faktor yang dapat menganggu pemeriksaan dan khususnya untuk isolasi virus. Pengiriman sampel sebaiknya seharusnya dilakukan sedemikian rupa sehingga virus dalam spesimen tetap terjamin sampai ke laboratorium.
Untuk pemeriksaan diperlukan spesimen dapat berupa bangkai, kepala atau spesimen sampel jaringan seperti hipokampus, otak kecil dan spesimen lainnya sebanyak masing-masing 3 gram atau lebih.   Spesimen, kemudian dimasukkan dalam kontainer logam (kontainer pertama) ditutup rapat dan disimpan dengan kedinginan 4°C atau dibekukan sampai saat pengiriman.  
Untuk mendiagnosa diperlukan sebanyak 6 buah preparat, masing-masing 2 buah untuk hippocampus (terpenting) otak besar bagian luar dan otak kecil dari masing-masing otak. Menurut cara membuatnya, terdapat 3 jenis preparat yakni preparat sentuh (impression method), preparat ulas (smear method) atau preparat putar (rolling method).
Kelenjar ludah penting artinya untuk mengetahui risiko pengigitan, karena itu perlu disertakan sebagai bahan pemeriksaan. Kelenjar ludah dapat dimasukkan dalam botol spesimen. Tutup botol/vial rapat-rapat dan simpan dalam keadaan dingin.
Tanda pengenal perlu disertakan/ditempelkan pada kontainer (botol/vial) yang berisi bahan pemeriksaan. Tanda pengenal berisi: Nama jaringan/organ, bahan pengawet/fixative yang dipakai, species hewan dan tanggal pengambilan.

Pengepakan dan Pengiriman Sampel
Spesimen sebaiknya dijaga dalam suhu refrigerator (4-8 0C)pada saat dilakukan transport. Penggunaan gliserol sebagai media transport sebaiknya dihaindari karena akan mengurangi intensitas immunofluoresecence meskipun telah dilakukan pencucian (Lennette et al., 1965) khusunya penggunaan aseton fiksasi untuk proses konjugasi (Andrulonis and Debbie, 1976).
Pendinginan yang hanya dilakukan sekali tidak akan menggangu proses diagnosis selanjutnya. Proses thawing dan pendinginanyang dilakukan berulang kali akan berefek terhadap sensitifitas dari proses diagnosis selain proses dekomposisi pada SSP juga dapat menyebabkan terganggunya proses diagnosis khususnya untuk kesalahan diagnosis menjadi negatif palsu. Untuk itu jika bangkai telah mengalami proses dekomposisi sebaiknya segera pengambilan spesimen jaringan dikirimkan ke laboratorium.

Pengepakan
Tempat spesimen sebaiknya terdiri dari dua tas, di tutup dengan plastic dan stryofoam sebagai insulasi dingin sehingga spesimen dapat terjaga dalam keadaan suhu refrigerator.          
Tas atau kontainer pertama yang berisi kepala atau spesimen dimasukkan ke dalam tas atau kontainer ke dua yang lebih besar. Diantara ke dua tas atau kontainer diberi es batu atau dry ice. Jumlah es batu atau dry ice disesuaikan dengan jarak dan lama waktu pengiriman ke laboratorium dan besar tas atau kontainer ke dua disesuaikan dengan jumlah es yang akan dipergunakan. Setelah itu kontainer atau tas ditutup rapat-rapat dan diberi tanda pengenal.
Botol/vial yang berisi potongan jaringan yang telah ditutup rapat-rapat dan tidak bocor dimasukkan kedalam kantong plastik yang berfungsi sebagai pembungkus, pencegah terlepasnya tutup dan pencegah perluasan kebocoran. Selanjutnya bahan pemeriksaan dimasukkan kedalam kaleng atau kotak yang tidak tembus air dan tahan banting. Bahan pemeriksaan kalau dikirim dalam thermos atau peti berisi es atau dry ice.

Pengiriman.
Untuk mencapai hasil yang baik dan mengurangi kerusakan terhadap spesimen sebaiknya proses transport dilakukan sesegera mungkin dan dilakukan secara langsung, bisa dilakukan melalui layanan pengiriman atau kurir dengan menyertakan keterangan atau surat pengantar specimen dan perlu disertakan dengan pengiriman bahan pemeriksaan dan paket diberi tulisan "paket ini berisi bahan pemeriksaan penyakit yang disangka anjing gila (rabies)". Alamat laboratorium yang dituju dan alamat pengirim ditulis dengan jelas. Sehingga menjadi perhatian bagi penyedia layanan kurir sehingga mengurangi risiko kontaminasi terhadap lingkungan dan mengurangi kerusakan spesimen pada saat proses transportasi.

IV.5. Uji yang Dilakukan
Diagnosis Rabies pada hewan dan manusia dapat dilakukan dengan 4 metode yaitu; (1) histopathology, (2) kultivasi virus, (3) serologis dan (4) deteksi antigen dari virus. Meskipun 3 metode pertama memberikan berbagai kelebihan tetapi bukan diagnosa yang bersifat cepat (rapid test)
  1. Histopatologi, badan negeri (negri bodies) merupakan temuan yang bersifat pathognomonis pada Rabies, meskipun adanya badan negeri hanya 71% dari kasus (http://virology-online.com/, 2010). 
  2. Kultivasi virus, pemeriksaan diagnosa untuk Rabies yang paling bersifat definitif adalah Kultivasi virus. Kultivasi virus adalah proses penanaman virus didalam suatu kultur jaringan (tissue culture) dengan maksud untuk memperbanyak virus sehingga akan lebih mudah untuk diisolasi dan di identifikasi. Kultur jaringan yang biasa digunakan untuk identifikasi penyakit Rabies adalah WI-38, BHK-21 atau CER.(http://virology-online.com/, 2010). Immuno Fluororecent (IF) adalah test (melalui Flourorescence Antibody Test (FAT)) yang biasa dilakukan melihat keberadaan antigen atau virus rabies dalam kultur jaringan. Proses kultivasi yang paling umum dilakukan dengan cara melakukan inokulasi dari saliva hewan terjangkit Rabies atau dari jaringan kelenjar saliva dan atau jaringan intracerebral yang disuntikan kedalam mencit. Mencit kemudian dilakukan observasi dan akan mengalami paralisis dan kematian dalam waktu 28 hari. Setlah mati otak mencit kemudian diperiksa untuk keberadaan viruus Rabies dengan Immuno fluororesence test. 
  3. Pemeriksaan Serologis adalah pemriksaan untuk melihat suatu infeksi yang terjadi di masa lampau. Pemeriksaan serologi, prinsipnya adalah memeriksa keberadaan antibodi pada sirkulasi darah sebagai akibat dari infeksi. Jenis pemeriksaan yang paling sering dilakukan untu pemeriksaan serologis dalam Rabies adalah pemeriksaan dengan metode Mouse Infection Neutralization Test (MNT) atau dengan Rapid fluororescent Focus Inhibition Test (REFIT). Dari berbagai laporan pemeriksaan Rabies dengan serologis adalah periksaan yang paling berguna dalam diagnosa (http://virology-online.com/, 2010).
  4. Deteksi virus Rabies Cepat, dalam beberapa tahun  terakhir, deteksi virus dengan menggunakan tekhnik IF makin sering dilakukan. Jaringan yang potensial terinfeksi (dalam hal ini kelenjar saliva, otak (hipokampus) dan kornea mata) di inkubasi dalam fluorescence antibodi yang dilabel. Kemudian spesimen diperiksa dengan penggunaan mikroskop elektron fluororescence dengan melihat adanya inklusi di intracytoplasmic. Pemeriksaan dengan metode ini cenderung lebih cepat jika dibandingkan dengan metode lainnya meskipun lebih banyak membutuhkan peralatan yang lebih modern seperti mikroskop elektron fluoroescence. 
IV.6. Diagnosa Banding                                                   
 Membuat diagnosa yang dapat diandalkan berdasarkan gejala klinis sangat susah untuk dilakukan karena hampir tidak gejala patognomonis yang menciri terhadap Rabies. Secara klinis Rabies bisa sangat susah dibedakan dengan keadaan penyakit yang menyebabkan enchepalitis yang disebabkan oleh infeksi virus yang lain. Pada manusia gejala Rabies juga bisa sangat susah dibedakan dengan Guillain-Bare syndrome, poliomyelitis, tetanus, keracunan dan obat-obatan dan penyakit virus yang menyebabkan echepalitis yang lainnya(Trimarchi and Smith, 2002).
Pada hewan penyakit yang berhubungan dengan SSP lainnya umumnya juga menunjukkan gejala seperti pada Rabies. Pada kondisi lain seperi infestasi parasit dan keracunan makanan juga akan menunjukkan perubahan tingkah laku yang mana gejalanya menyerupai Rabies. 
Beberapa penyakit yang lebih spesifik yang menyerupai Rabies adalah:
1.   Canine Distemper
2.   Infectious Canine Hepatitis
3.   Ajueskzy Disease
4.   Equine Viral enchephalomylitis
5.   Equine Encephalosis
6.   Penyakit-penyakit Bakterial dan Mikal yang berhubungan dengan SSP termasuk Lysteriosis dan Cryptococcosis
7.   Keracunan oleh logam berat, Chlorinate Hydrocarbon atau pestisida
8.   Benda asing pada Oesopharynk atau Esofagus dan Perlukaan akibat trauma
9.   Phycosis akut pada anjing dan kucing
V. Penanganan Penyakit
Posted Tuesday, 06/08/2010 by admin
Rabies adalah salah satu penyakit penting berdasarkan aspek sosial-ekonomi dan aspek kesehatan masyarakat. Kebijakan Pemerintah dalam memberantas Rabies dilaksanakan dengan alasan utama untuk perlindungan kesehatan manusia dan mencegah penyebarannya ke hewan domestik dan satwa liar. 
Dalam mencapai tujuan itu Pemerintah mengatur dengan melaksanakan strategi dibawah ini (Departemen Pertanian, 2007):
  1. Karantina dan pengawasan lalu lintas terhadap hewan penular Rabies diwilayah/daerah untuk mencegah penyebaran penyakit
  2. Pemusnahan hewan tertular dan hewan yang kontak untuk mencegah sumber viru Rabies yang paling berbahaya.
  3. Vaksinasi semua hewan yang dipelihara didaerah tertular untuk melindungi hewan terhadap infeksi dan menguangi kontak terhadap manusia.
  4. Penelusuran dan surveilans untuk menentukan sumber penularan dan arah pembebasan dari penyakit; dan
  5. Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) untuk memfasilitasi kerjasama masyarakat terutama dari pemilik hewan dan komunitas yang terkait.

Adapun langkah-langkah pencegahan rabies dapat dilihat dibawah ini :
  1. Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies. 
  2. Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk tanpa izin ke daerah bebas rabies.
  3. Dilarang
  4. melakukan vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies kedaerah-daerah bebas rabies.
  5. Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70% populasi yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus.
  6. Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing yang telah divaksinasi.
  7. Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak betuan dengan jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan.
  8. Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderita rabies, selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati selama observasi atau yang dibunuh, maka harus diambil spesimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk diagnosa.
  9. Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera nan hewan sebangsanya yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies.
  10. Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies sekurang-kurangnya 1 meter.
Tindakan terhadap Korban Gigitan atau Dijilat oleh Hewan Tersangka Rabies
  1. Luka korban hasil gigitan dibersihkan dan segera dibawa ke Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat untuk tangani dan dirawat oleh pihak medis
  2. Korban yang digigit anjing atan dijilat oleh hewan yang tersangka Rabies harus segera diberikan pengobatan anti Rabies yaitu pemberian serum anti Rabies (SAR) atau vaksinasi Rabies.  Semua anjing atau HPR lainnya yang mengigit khususnya pada daerah endemis Rabies atau pun mempunyai sejarah penyakit Rabies dianggap hewan terinfeksi Rabies, untuk itu penanganan korban adalah diberikan pengobatan anti Rabies yaitu pemberian serum anti Rabies (SAR) atau vaksinasi Rabies
  3. Tangkap HPR tersangka dan lakukan pengamatan sekurang-kurang selama 14 hari
  4. Setiap penderita gigitan oleh HPR harus mendapatkan pengobatan terlebih dahulu, sampai ada kepastian apakah HPR tersangka postif atau negative terhadap Rabies.  Apabila HPR tersangka negatif maka pengobatan “post exposure” dihentikan. Sebaliknya jika positif maka pengobatan dilanjutkan
  5. Apabila hewan yang menggigit itu tidak dapat ditangkap, atau tidak dapat diobservasi atau spesimen tidak dapat diperiksa karena rusak, maka kita berasumsi bahwa HPR tersangka adalah terinfeksi Rabies.
Tindakan terhadap Hewan Tersangka Terinfeksi Rabies
Tindakan pada hewan tersangka rabies atau menderita rabies, petugas berwenang (Dinas setempat) harus melakukan penangkapan dan melakukan eliminasi pada hewan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku (jika terinfeksi Rabies). 

Tabel 1. Tindakan Terhadap Hewan yang Mengigit (Departemen Pertanian, 2007) 
Hewan
Tindakan
Hewan yang di vaksin
-        Mengigit/mencakar


 





-        Hewan yang kontak dengan HPR

·      Isolasi dan Observasi selama 14 hari
·      Jika dalam masa observasi anjing/kucing tetap hidup dibebaskan tetapi jika anjing tidak berpemilik maka dilakukan eliminasi
·      Jika dalam masa observasi anjing mati, otak anjing tersangka dikirim ke Laboratorium untuk peneguhan diagnosa Rabies

·      Isolasi dan Observasi selama 14 hari
·      Jika dalam masa observasi anjing/kucing tetap hidup dibebaskan tetapi jika anjing tidak berpemilik maka dilakukan eliminasi
·      Jika dalam masa observasi anjing mati, otak anjing tersangka dikirm ke Laboratorium untuk peneguhan diagnosa Rabies
Hewan yang tidak di vaksin
-        Mengigit/mencakar Berpemilik





  

-        Mengigit/mencakar tidak Berpemilik

·      Isolasi dan Observasi selama 14 hari
·      Jika dalam mas observasi anjing/kucing tetap hidup dibebaskan tetapi jika anjing tidak berpemilik maka dilakukan eliminasi
·      Jika dalam masa observasi anjing mati, otak anjing tersangka dikirm ke Laboratorium untuk peneguhan diagnosa Rabies

·      Anjing dieliminasi dan diambil spesimen untuk peneguhan diagnosa


Apabila setelah dilakukan observasi selama lebih kurang dua minggu ternyata hewan itu masih hidup, maka hewan tersangka diserahkan kembali kepada pemiliknya setelah divaksinasi, atau dapat dilakukan eliminasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku apabila tidak ada pemilikinya.

Pelaporan Rabies
  1. Apabila terjadi kasus gigitan oleh HPR, Kepala Desa harus segera melaporkan kepada Camat dan atau petugas Peternakan didaerah setempat.
  2. Camat setelah menerima laporan dari kepala desa/ Lurah tentang adanya kasus gigitan rabies pada hewan harus segera melaporkan kepada Bupati/Walikota didaerah tersebut.
  3. Petugas peternakan di Kecamatan setelah menerima laporan dari kepala desa dan pimpinan unit kesehatan setempat tentang adanya kasus gigitan oleh HPR harus segera melaporkan kepada kepala Dinas yang membawahi bidang Kesehatan hewan dan Peternakan Kabupaten/Kotamadya.
  4. Kepala Dinas yang membawahi bidang Kesehatan hewan dan Peternakan di Kabupaten/Kotamadya setelah menerima laporan harus segera melaporkan kepada Bupati/Walikota madya.
  5. Dinas yang membawahi bidang Kesehatan hewan dan Peternakan setelah melakukan pemeriksaan klinis atau menerima hasil pemeriksaan laboratorium dari spesimen yang berasal dari HPR harus segera melaporkan kepada unit Kesehatan yang melakukan perawatan penderita.
  6. Instansi-instansi pemerintah seperti Dinas yang membawahi bidang Kesehatan hewan dan Peternakan dan Buoatiu atau Walikota setelah laporan untuk selanjutnya melaporkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  7. Pimpinan Unit Kesehatan yang merawat orang yang digigit atau dijilat hewan yang tersangka rabies harus segera melaporkan kepada Dinas yang membawahi bidang Kesehatan hewan dan Peternakan setempat.
  8. Pimpinan Unit Kesehatan yang dimaksud selanjutnya melaporkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
V.2. Pengendalian dan Pemberantasan
Vaksin Rabies
Vaksinasi Rabies adalah salah satu tindakan pencegahan dalam proses kontrol dan pemberantasan Rabies.  Vaksinasi adalah tindakan yang dianggap paling efektif dalam melaksanakan kontrol dan pemberantasan Rabies serta menurunkan tingkat kasus gigitan oleh HPR kepada manusia.
Vaksin rabies telah dikenal sejak tahun 1879 dibuat pertama kali oleh Victor Galtier. Selanjutnya vaksin tersebut dikembangkan oleh Louis Pasteur pada tahun 1880 dalam studinya untuk mencegah penularan Rabies kepada manusia.  Vaksin ini dikembangkan dengan metode yang cukup sederhana jika dibandingkan dengan produksi pada saat ini yaitu dengan mengambil virus dari jaringan syaraf pada tulang belakang hewan terinfeksi Rabies kemudian diberikan melalui inokulasi intracerebral kepada kelinci secara serial dalam waktu spesifik tertentu.  Kemudian virus diambil dan disuntikkan sebagai vaksin ke anjing dalam beberapa waktu spesifik tertentu dan di challenge dengan Rabies.
Pasteur pada percobaan ini menemukan bahwa inokulasi intracerebral virus secara serial kepada monyet dengan virus yang berasal dari anjing yang terinfeksi.  Masa Inkubasi akan meningkat dan virulensi dari virus berkurang atau menurun. Dengan berkembangnya cara pengembangbiakan virus dengan biakan sel, Naguchi pada tahun 1913 dan Levaditi pada tahun 1914 berhasil membiakan virus rabies secara in vitro pada biakan gel.
Produksi vaksin beberapa decade setelah metode pengembangan yang ditemukan oleh Pasteur adalah metode Nerve Tissue Origin (NTO) vaksin yang dilakukan inaktivasi oleh phenol, tetapi vaksinasi dengan menggunakan Vaksin NTO inaktif ini juga mengalami post vaksinasi yang cukup siginifikan, yaitu gejala syaraf hingga kematian.  Kemudian berbagai metode pengembangan vaksin pun berkembang hingga sekarang, seperti Modified Live Virus Vaccines dan Killed Cell Culture Rabies Vaccines (Briggs et al., 2002).
Meskipun efikasi dan keamanan vaksin dengan metode baru berkembanag tetapi penggunaan metode NTO tetap banyak dipakai pada Negara-negara Asia dan masih memproduksi vaksin-vaksin ini sehingga korban membutuhkan kunjungan beberapa kali ke rumah sakit dan mempunyai efek samping yang cukup signifikan.
 
1.    Modified Live Virus Vaccines (MLV)
Vaksin Rabies aktif (Live Vaccines) dihasilkan dari virus Flury and Kelev strain yang dikembang dalam sel telur bertunas berembrio (CEO=Chicken Embryonated Eggs), The Street Alabama Dufferin (SAD) yand dikembangkan dalam jaringan ginjal hamster dan Evelyn-Rokitnicki-Abelseth (ERA) strain yang menggunakan ginjal babi.
Prosedur diatas adalah prosedur yang sering digunakan untuk memproduksi Rabies MLV.  Berbagai metode pun berkembang dalam memproduksi  MLV  vaksin tetapi strain yang dikembangkan dengan metode CEO, ERA dan SAD adalah MLV vaksin strain yang digunakan secara luas di Asia dan Afrika dan juga sebagain dari Eropa (Briggs et al., 2002). Meskipun penggunaan MLV masih sering digunakan tetapi penggunaan vaksin inaktif (killed vaksin) juga telah berkembang diberbagai Negara yang masih menerapkan MLV vaksin.

2.    Killed Cell Culture Rabies Vaccines
Vaksin inakfit memerlukan jumlah virus yang sangat banyak.  Hal ini diatasi dengan pengembangan metode baru yaitu pengembang biakan virus dalam jaringan otak dari kelinci, ginjal anak hamster, sel otak marmot, SMB dan CEO dan juga substraat yang lain oleh strain-strain virus seperti CVS-11, PM-NIL 2 dan PV-BHK 2.
Proses inaktivasi virus yang dikembangkan dilakukan dengan menggunakan sinar UV, Agen inaktivasi β-propiolactone (BPL), acethyllethyleneimine dan amines lainnya.  Penggunaan formadehyd dan phenol sudah tidak direkomendasikan.  Yang paling sering digunakan adalah agen inaktivasi BPL.  Jika telah di inaktivasi kemudian adjuvant akan ditambahkan untuk meningkatakan respon imun dari inang.   Adjuvant yang paling sering digunakan adalah saponin, aluminium hidroksida, alumunium phosphate dan minyak adjuvant (Briggs et al., 2002)

Jika dilihat dari tipe pemberian vaksin dapat dibagi menjadi dua jenis:
  1. Vaksin parenteral (melalui otot (intra muscular) dan melalui jaringan dibawah kulit (intra sub-cutaneous)), adalah vaksin yang paling umum digunakan untuk hewan-hewan potensial mendapatkan Rabies dan berpemilik (ada dalam pengawasan pemilik).
  2. Vaksin Oral adalah jenis vaksin alternatif yang banyak digunakan dalam tindakan pencegahan Rabies pada satwa liar.

Di Indonesia, vaksin rabies untuk hewan telah diproduksi sejak tahun 1967 oleh Pusat Veterinaria Farma (Pusvetma) Surabaya yang pada saat itu masih bernama lembaga virologi kehewanan (LVK), menggunakan fixed virus rabies. Sebagai media untuk membiakkan virus rabies digunakan otak kambing/domba umur 3 bulan. Otak yang ditumbuhi virus digerus, dibuat suspensi kemudian diinaktifkan dengan phenol 0,5%. Vaksin jenis ini disebut vaksin rabies sampel yang selanjutnya diberi nama paten Rasivet Aplikasi vaksin tersebut melalui suntikan dibawah kulit dengan dosis 4 ml. Masa kebal vaksin rasivet relatif pendek yaitu 6 bulan.
Pada tahun 1983, metode baru dikembangkan. Metode baru ini menggunakan biakan sel sebagai media pertumbuhan virus rabies. Virus yang digunakan yaitu virus rabies galar Pastuer yang dibiakan pada kultur sel ginjal anak hamster (BHK 21), dengan bahan inaktif berupa 2-Bromo Ethylamin (BEA). Sel BHK 21 seperti yang dinyatakan Bear (1975) merupakan sel yang paling peka untuk pembiakan virus rabies.
Setelah melalui rangkaian percobaan, pada tahun 1984, Pusvetma mengeluarkan vaksin rabies yang menggunakan biakan sel sebagai tempat pembiakan virus. Vaksin baru ini diberi nama “Rabivet”.
Vaksin Rabivet mempunyai kelebihan dibandingkan dengan vaksin sebelumnya, rasivet yaitu:
  1. Rabivet tidak mengandung jaringan syaraf dan kandungan proteinnya lebih rendah sehingga efek samping berupa alergi dan paralisa non spesifik sangat dikurangi.
  2. Mudah diproduksi secara besar-besaran.
  3. Harga satuan lebih rendah.
  4. Pencemaran lingkungan dan resiko tersebarnya virus sangat rendah.
  5. Rabies mempunyai masa kekebalan yang lebih lama.
V.3. Pengobatan
Tindakan vaksinasi dan pemberian serum anti rabies sebagai tindakan post exposure treatment (PET) telah meningkatkan keberhasilan pengobatan bagi korban terutama manusia yang terkena gigitan dan berisiko.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar