Kamis, 24 Mei 2012

SPIROCHAETA


SPIROCHAETA
Golongan kuman ini termasuk dalam orgo Spirochaetales yang dibagi kedalam 2 familia morfologi seperti panjang sel. Jumlah spiral. Ada tidaknya filament aksial, dan lain – lain.
Klasifikasi menurut Bergey 1984 adalah sebagai berikut :
Spirochetes :
Order I. Spirochaetales
Family I. Spirochaetaceae
Genus 1. Spirochaeta
Genus 2. Christispira
Genus 3. Treponema
Genus 4. Borrelia
Family II. Leptospiraceae
Genus 1. Leptospira

FAMILIA SPIROCHAETACEAE
Bekteri ini tidak memiliki flagella, berbentuk spiral halus, langsing, fleksibel, merupakan gram negatif, bersifat anaerob, fakulatif anaerob atau mikroaerofil. Ukuran lebar 0.1 – 0.3 um, panjang 5 – 300 um. Walaupun tanpa flagella dapat bergerak aktif secara cepat melalui 3 cara yakni rotasi, kontraksi, dan gerakan seperti ular. Gerakan tersebut disebabkan karena kuman ini memiliki beberapa lembar filament yang terletak diantara dinding sel dan membrane sitoplasma terentang dari ujung satu keujung lainya.
Spirochaeta hidup bebas didalam air yang mengandung H2S, dilumpur, atau didasar laut. Bagi pertumbuhanya dibutuhkn media yang diperkaya dengan serum dan dalam suasana anaerob.
Kuman ini dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop medan gelap atau dengan pengecatanm khusus seperti Giemsa Fontana, atau Levaditti (impregnasi perak). Terdapat 3 genus yang patogen bagi manusia yakni Treponema, Boriela, dan Leptospira.
GENUS TREPONEMA
Treponema pallidum
Kuman ini merupakan penyebab penyakit lues (safilis) dengan membentuk ulkus pada organ genital kemudian menjadi infeksi umum.
A.    Morfologi dan Identifikasi
Berbentuk spiral halus, ramping berukuran panjang 5-15 um dan tebal 0.2 um. Untuk pengamatan biasanya digunakan mikroskop medan gelap, imunofloerosensi atau dengan impregnasi perak karena kuman ini mampu mereduksi perak nitrit menjadi perak metalik sehingga treponema dalam jaringan dapat teramati (Impregnasi perak dari Levaditti).
Koil spiral tersusun teratur dengan jarak 1 um. Kuman ini bergerak aktif dengan berputar teratur mengelilingi sumbu panjang. Sumbu sepanjang spiral biasanya lurus, tetapi kadang-kadang membengkok sehingga memungkinkan kuman ini suatu saat membentuk lingkaran kemudian kembali keposisi normal. Selain bentuk spiral dikenal fase granulair berbentuk bulat seperti kista.
T. pallidum belum berhasil dibiakkan dengan baik pada media buatan, telur berembrio ataupun biakkan jaringan, tetapi strain Reiter yang non patogen dapat tumbuh secara anaerob (in vitro). Kuman ini tetap hidup selama 3-6 hari pada 25° C, sedangkan pada darah yang disimpan pada suhu 4° C dapat hidup selama 24 jam. Sifat ini perlu diperhatikan mengingat ada kemungkinan penularan lues melalui transfusi darah. Pada suhu 24°C kuman ini akan mati, sifat ini dahulu digunakan sebagai terapi lues (fefer therapy) dengan menyuntikan parasit malaria secara intravena agar penderita menjadi demam sehingga treponema mati.
Treponema peka terhadap pengeringan dan pemanasan, senyawa arsen, merkuri dan bismut.
T. pallidum berkembang dengan belah pasang secara transversal setelah membelah kuman saling melekat satu sama lain untuk beberapa saat. Penisilin pada konsentrasi rendah bersifat mamatikan treponema secara lambat, hal ini disebabkan karena lambatnya multiplikasi kuman ini.
Antigen T. pallidum belum diketahui secara jelas. Antibodi terhadap kuman ini pada manusia dapat dideteksi dengan tes immobilisasi (TPI), FAT (imunoflourensi) dan tes ikatan komplemen. Didalam tubuh manusia akibat infeksi lues akan terbentuk regain. Zat tersebut terbentuk karena adanya jaringan yang rusak (yang bersifat sebagai hapten) yang apabila berikatan dengan protein T. pallidum akan membentuk antigen lengkap sehingga menginduksi terbentuknya reagin. Zat ini akan memberikan hasil positif pada tes ikatan komplemen dan tes flokulasi dengan suspensi ekstrak jantung mamalia (sapi). Zat ini kemudian digunakan dalam uji serelogik untuk diagnosa penyakit sifilis seperti tes Wasserman, VDRL, Kahn.
B.     Patogenesis, patologi dan gejala klinik
Penularan penyakit lues pada manusia dapat melaui kohabitasi, saliva, transfusi darah, serta transplantasi. Masa tunas 4 – 6 minggu. Kurang lebih 30% kasus infeksi sifilis dini sembuh sempurna tampa pengobatan, pada 30% lainya infeksi yang tidak diobati menjadi laten, dengan uji serologi positif, sedangkan sisanya penyakit berkembang menjadi stadium lebih lanjut.

Stadium I : afek primer :
Lesi primer 10 – 20% terjadi pada intrarektal, perianal dan oral. T. pallidum masuk tubuh dengan mnembus mukosa atau luka pada kulit. Kuman berkembang biak pada tempat ia masuk, sebagian menyebar ke kelenjar limfe setempat dan peredaran darah. Pada 2 – 10 minggu setelah infeksi pada tempat masuk (organ genitalia) terbentuk papula merah yang membesar, mengeras (indurasi), kemudian terjadi nekrosis, pecah dan menjadi ulkus (ulkus durum). Dasar ulkus bersih, pada palpalasi keras, tidak nyeri, lesi ini sembuh spontan. Bila lesi ini dipijit akan keluar eksudat yang mengandung kuman. Cairan ini disebut serum Reitz. Lesi primer pada pria biasanya terjadi pada glans atau preputium penis, sedangkan pada wanita terdapat pada vulva, labia mayora, labia minora atau vagina.
Stadium II : stadium bubo :
Terjadi pada minggu 6 – 12 setelah efek primer. Timbul pembengkaknan kalenjer limfe yang tidak nyeri dan tidak melekat pada kulit. Pembengkakan kemudian menghilang, kuman masuk peredaran darah menyebar keseluruh tubuh disertai demam, kelainan kulit, mukosa mulut, anus serta alat genitalia. Kelainan berbentuk macula, vesikula, pustula yang efektif.

Stadium III : stadium laten :
Kelainan kulit tang terjadi kadang-kadang dapat sembuh dengan sendirinya untuk kemudian terbentuk suatu gumma (granulomatosa), suatu ulkus dengan tepi tidak meradang. Gumma dapat tejadi pada tulang, sendi, kulit dean alat-alat dalam. Pada stadium ini terjadi perubahan degeneratif system syaraf pusat (safilis meningovaskuler, paresis dan tabes) Rambut rontok dalam beberapa tahun karena folikel.


Stadium IV : stadium neurollus :
Terjadi pada 5 – 15 tahun setelah efek primer, merupakan akibat penyebaran kuman ke system syaraf pusat, dengan gejala : tabes dorsalis atau gejala psikiatrik seperti dimentia paralitika. Pada stadium II dan IV, T. pallidum sulit ditemukan dalam lesi.
Penyakit ini dibagi 2 menurut cara perolehnya yakni sifilis dapatan dan sifilis kongenita
  1. Sifilis dapatan (aquisita) :
Secara alamiah infeksi T. pallidum hanya terbatas pada manusia, ditullarkan lewat hubungan seksual dengan lesi pada kulit atau membrana mukosa alat kelamin.
  1. Sifilis kongenita :
Bila seorang ibu hamil menderita sifilis, terutama pada stadium II, penularan dapat terjadi pada bayinya secara transplasental. Akibat yang terjadi tergantung pada masa kehamilanya.
Trimerter I       : dapat timbul abortus atau sifilis congenital
Trimester II     : stillbirth, prematuritas atau lues tarda
Trimester III    : anak lahir aterm, tetapi meninggal dengan maserasi, kulit penuh dengan bula yang efektif. Segala sesuatu yang dikeluarkan ibunya lewat vagina bersifat infeksius.
Anak yang lahir hidup menderita gejala : hidung pelana (saddle nose), kulit keriput, pada telapak dan tangan terdapat gelembung (pemfigus sifilitikus), splenomegali. Pada foto tulang panjang ditemukan osteochondritis, dengan daerah metaphisis yang mengapur dan melebar.
Lues tarda : anak yang lahir tampak normal dan sehat, tetapi sebenarnya sedang terjadi infeksi laten. Kurang lebih 8 tahun kemudian timbul gejala tuli sentral, kornea keruh, gigi seri bergerigi. Ketiga gejala tersebut dikenal sebagai Trias Hutchinson. Bila anak menjadi dewasa, timbul kelainan SSP seperti hemiplegi, tabes dorsalis, dimentia paralitika, serta idiosi.
C.    Diagnosa labolatorik
Bahan pemeriksaan berupa cairan jaringan lesi awal untuk uji mikroskopik. Serum untuk uji serologik.
  1. 1.      Pemeriksaan mikroskopik
Pada stadium I :
Bersihkan lesi dengan pinset dan kain kasa dengan NaCl, tekan lesi sampai keluar serum Ritz yang jernih (bila berdarah diulang). Dibuat preparat basah untuk mikroskop medan gelap. Disamping itu dibuat pula preparat basah dengan tinta cina atau preparat kering dengan pengecatan Fontana.
Ada kemungkinan hasil mikroskopik negatif, bila telah diberi pengobatan atau pada lesi diberi antiseptik atau lesi primer telah sembuh. Untuk keadaan ini bisa dilakukan aspirasi kelenjar limfe yang membesar. Bila perlu serum Ritz dapat dihisap dengan kapiler, ditutup dengan paraffin. Jangan disimpan di almari pendingin atau incubator.
Pada stadium II : stadium bubo
Bahan pemeriksaan dapat berupa kerokan lesi kulit atau bercak-bercak dimulut, kondiloma divulva atau anus. Pemeriksaan mikroskopik harus dilakukan 3 kali berturut-turut sebelum dinyatakan negatif.
  1. 2.      Pemeriksaan serelogik
Pada infeksi T. pallidum terbentuk 3 antibodi :
  1. Reagin (non Troponemal) : bereaksi dengan antigen yang terdiri dari otot jantung sapi, diekstrasi dengan alcohol ditambah dengan kolestrol dan lesitin (kardioolipin). Reagin dapat dideteksi dengan Tes Wasserman atau dengan tes flokulasi baik secara makroskopik ataupun mikroskopik (VDRL). Reagin adalah campuran IgM dan IgA terhadap beberapa antigen yang tersebar dalam jaringan normal, zat ini dijumpai dalam tubuh penderita setelah 2 – 3 minggu infeksi sifilis yang tidak diobati dan dalam cairan spinal setelah 4 – 8 minggu infeksi.
1)      Uji flokulasi VDRL (Veneral Disease Research Laboratory)
Dasar pengujian : partikel antigen lipid (kardiolipin jantung sapi) tersebar rata dengan serum normal, tetapi bila bereaksi dengan reagin akan terjadi gumpalan terutama setelah digojog. Uji VDRL atau RPR akan menjadi negatif dalam 6 – 18 bulan setelah pengobatan sifilis secara efektif.
2)      Uji Fiksasi Komplemen : CF, Waserman, Kolmer
Dasar pengujian : serum yang berisi regain mengikat komplemen dengan adanya kardiolipin. Perlu dipastikan bahwa serum tidak bersifat antikomplementer (tidak merusak komplemen tampa adanya antigen).
Kedua pengujian tersebut dapat memberikan hasil secara kuantitatif, dengan pengeceran serum secara seri.
  1. Antibodi yang bereaksi dengan protein T. pallidum non patogen (strain Reiter). Dapat diperiksa dengan Reiter Protein Complemen Fixation Test (RPCT).
Uji nontroponemal dapat memberikan hasil positif palsu sebagai akibat kesulitan teknis atau karena biologik karena terjadinya regain pada bebagai penyakit antara lain (malaria, lepra, campak, mononucleosis infeksiosa), atau karena vaksinasi, penyakit pembuluh darah dan kolagen (Lupus erimatosus sistematik, poliartritis, penyakit rematik)
  1. Antibodi yang bereaksi dengan T. pallidum patogen (strain Nichols) dapat diperiksa dengan :
T. pallidum Immobilitation Test (TPI)
Menggunakan T. pallidum hidup dari testis kelinci yang aktif bergerak. Apabila ditambahkan pada serum penderita yang mengandung antibody divcampur dengan komplemen, secara mikroskopik terlihat kuman berhenti bergerak.
T pallidum Flourescent Antibody test (TPFAT)
Uji ini menggunakan cara immunoflouresen tak langsung. Pada cara ini T. pallidum mati ditambah serum penderita dan anti human gamma globulin yang telah dilabel. Hasilnya sangat spesifik dan peka.
T. pallidum Hemaglutination Test (TPHA)
Sel darah merah yang disiapkan mampu mengabsorpsi treponema bila ditambah serum yang mengandung antibody anti treponema akan menggumpal.
D.    Immunitas
Penderita sifilis aktif, laten atau penderita frambosia akan menjadi resiten terhadap superinfeksi T. pallidum.Tetapi jika sifilis dini atau frambosia diobati dengan baik, maka penyakit ini dapat dibasmi dan individu kembali menjadi sangat peka. Berbagai respon imun biasanya gagal dalam membasmi atau menfhentikan perkembanganya.
E.     Pengobatan
Penicillin merupakan obat pilihan dengan konsentrasi 0.003 unit/ml mempunyai aktifitas treponemisidal. Pada sifilis yang kurang dari 1 tahun, kadar penicillin dipertahankan selama 2 minggu dengan satu suntikan Benzathine Penicillin G 2.4 juta unit i.m. Pada sifilis yang laten atau lebih lama, maka Benzathine Penicillin G 2.4 juta diberikan 3 kali dengan interfal waktu satu minggu. Pada neurosifilis diberikan Penicillin G dalam air sebanyak 20 juta unit secara i.v tiap hari untuk selama 2-3 minggu. Antibiotika lain seperti Tetracyclin atau Erythromycin kadang-kadang dapat dipakai sebagai pengganti. Pemantauan yang terus menerus sangat penting. Pada neurosifilis Treponema kadang-kadang masih hidup pada pengobatan diatas.
F.     Epidemiologi, Pencegahan dan Pengawasan
Dewasa ini insiden penyakit sifilis penyakit seksual lain cenderung meningkat. Penyakit sifilis umumnya ditularkan secara seksual, dengan insiden tertinggi pada homoseksual. Penderita yang terinfeksi tetap menular selama 3 – 5 tahun dari sifilis dini, masa selanjutnya biasanya tidak menular.
Pengawasan disini meliputi :
  1. Pengobatan cepat & memadai terhadap kasus yang ditemukan.
  2. Pemantauan sember infeksi dan pengawasan yang memadai.
  3. Higiene seksual dan pencegahan pada waktu hubungan seksual; baik secara mekanik (kondom) atau pengobatan (pemberian Penisilin setelah hubungan seksual).
Mengingat penyakit kelamin penularanya bersifat serentak, jika didapat adanya satu jenis penyakit kelamin pada manusia, harus dipikirkan juga kemungkinan sifilis pada penderita tersebut.
TREPONEMA PENYEBAB PENYAKIT YANG LAIN
Penyakit lain yang mentebabkan oleh Treponema lain ; memberikan uji serologis positif untuk sifilis baik uji treponema ataupun non treponema, dan juga timbul adanya imunitas silang. Semua termasuk penyakit non venereal, penularanya secara kontak langsung dan penyebabnya tidak dapat diisolasi pada media buatan.
  1. Treponema pallidum penyebab penyakit Bejel
Terdapat terutama di Afrika, Timur Tenggah dan Asia Tenggara, terutama pada anak-anak menyebabkan lesi kulit yang sangat menular. Jarang terjadi komplikasi pada organ dalam, tetapi kadang-kadang menimbulkan kelainan meningo-vaskiler. Diduga penularan terjadi karena kontak dengan penderita, alat makan/minum atau lesi pabila mammae pada saat lektasi, Penisilin merupakan obat pilihan.
  1. Treponema pertenue penyebab Yaw (frambosia/patek)
Bersifat endemik, menahun, non venerik, terutama pada anak-anak di negara tropik yang panas dan lembab. Penyebab penyakit ini adalah T. pertenue Lesi pertama, berupa papula yang mengalami ulserasi, biasanya pada lengan dan kaki, dengan penularan secara kontak lansung, terutama dengan lesi kulit basah, kuman masuk melalui luka kulit yang tidak tampak.Penularan dapat pula secara mekanis melalui lalat yang hinggap pada lesi basah kemudian hinggap pada kulit yang luka. Biasanya terjadijaringan parut pada kulit. Jarang terjadi komplikasi pada system syaraf dan alat dalam. Ada immunitas silang diantara penyakit frambosia dan sifilis, pengobatan penicillin memberi hasil sangat baik.
Penyakit ini terdiri dari beberapa stadium, dengan masa tunas 3-4 minggu. Stadium I : lesi primer ekstra genital, beupa papula merah kuning, tidak nyeri, membesar menjadi ulkus granulomatus yang mengeluarkan cairan (mother jaw) dikelilingi daerah yang meradang dan papula-papula kecil seperti buah frambus. Kemudian mongering, ditutup deengan kerak hitam. Lesi basah ini nsangat interaktif, biasanya dilengan dan kaki.
Stadium II : 6 minggu sampai 3 bulan setelah Mother jaw sembuh, timbul banyak papula secara spontan seperti mula-mula pada bagian tubuh lainya, pada batas mukosa dan kulit pada muka dan genitalia.
Stadium III : Lesi biasanya terbatas pada kulit, persendian dan tulang. Kadang-kadang berupa nodul yang berulserasi dalam (gumma) dan kerusakan tulang (persendian), membengkok sehingga tidak dapat menahan berat badan. Jarang terjadi kerusakan kardiovaskuler dan neurologis. Penularan transplasental tidak dijumpai.
  1. c.       Treponema carateum penyebab penyakit Pinta
Penyakit yang disebabkan oleh oleh T. curateum bersifat endemic pada semua golongan umur di Meksiko, Ameika tengah dan selatan, Filipina dan beberpa daerah dikawasan Pasifik. Penyakit ini nampaknya terdapat secara terbatas pada golongan kulit berwarna. Lesi pertama berupa papula non-ulserasi, kemudian berkembang sebagai lesi kulit yang bersifat datar dan hiperpigmentasi. Setelah beberapa tahun akan terjadi depigmentasi dan hiperkeratosis. Jarang diikuti kelainan syaraf dan kardiovaskuler. Penularan bersifat non venereal baik dengan kontak langsung ataupun melalui vector (lalat). Diagnosa dan pengobatan sama dengan penyakit sifilis.
TREPONEMA YANG HIDUP DI RONGGA MULUT
Spirochaeta merupakan flora normal rongga mulut, khususnya terdapat didaerah interproksiamal dan leher gigi. Bakteri ini hampir selalu ada pada orang dewasa dan jarang pada bayi atau anak-anak yang belum, tumbuh giginya atau pada orang tua yang tidak bergigi. Daerah interdental papil memungkinkan spirochaeta tumbuh baik. Terjadinya resensi gusi dan saku gusi akan menyebabkan bertambah suburnya kuman ini. Dalam sulkus gigi sehat kuman ini tidak patogen.
Spirochaeta didalam rongga mulut tidak dapat memfermentasikan karbohidrat secara aktif. Bagi pertumbuhanya diperlukan oksigen rendah, sehingga saku gusi merupakan lingkungan yang mendukung pertumbuhanya.
Jenis Spirochaeta yang sering dijumpai pada rongga mulut adalah Treponema anbigum, Treponema denticola, Treponema macrodentinum, Treponema microdentinum, Treponema comandonii, Treponema vincentii. Pada keadaan tertentu kuman-kuman tersebut dapat menimbulkan penyakit periodontal, walaupun kuman jenis lain dapat pula berperan pada timbulnya penyakit tersebut.
Belum dapat dipastikan bagaimana spirochaeta dalam mulut dapat memasuki jaringan, diperkirakan bakteri ini dapat menempel dan menembus sel-sel epitel pada mukosa mulut. Spirochaeta dapat menghasilkan bahan-bahan toksik sebagai hasil metabolismenya diantaranya ammonia, indol, H2S, asam butirat dan putresin. Khususnya Treponema vincentii menghasilkan asetilglukosamidase yang dapat merusak jaringan periodontal.
Mekanisme spirochaeta menimbulkan penyakit periodontal dengan berbagai tahap :
  1. Dengan cara invansi bakteri. Bakteri ini selalu dijumpai pada setiap tahap penyakit periodontal. Dengan gerakan aktifnya kuman ini mendoromng bakteri lain yang tidak bergerak masuk kedalam jaringan dan membentukbahan-bahan toksik seperti ensim sisteindesulhidrase yang dapat membentuk H2S dicairan gusi yang juga sebagai penyebab penyakit periodontal.
  2. Dengan menghasilkan ensim esetilglukosa midase yang mampu merusak jaringan dan sekaligus menyebar infeksi dan penyabab pendarahan pada kapiler gusi.
  3. Dengan menghasilkan endotoksin yang merupakan lipopolisakaridadan protein kompleks yang terdapat pada didind bakteri dan dilepas saat bakteri lilies. Endotoksin ini menyebabkan peradangan, nekrotik jaringan dan tulang karena mampu berpenetrasi pada jaringan yang rusak. Jadi endotoksin merupakan initiating factor pada terjadinya penyakit periodontal.
  4. Bakteri ini dapat menghasilkan toksin lain bersama-sama dengan vibrio, fusiform, veillonela dan beberapa bacteroides. Toksin dapat berupa : H2S, putresin, ammonia, indol.
Terdapat peningkatan populasi spirochaeta pada gusi yang sakit dibanding gusi normal. Juga pada gusi yang dalam lebih banyak ditemukan kuman ini disbanding saku gusi yang dangkal. Artinya makin banyak populasi spirochaeta sejalan dengan makin dalamnya saku gusi yang berkaitan makin parahnya penyakit periodontal. Mengingat kuman ini mampu merusak dan menghancurkan jaringan, maka akibat yang paling sering terjadi adalah gigi menjadi goyah dan lama kelamaan menjadi menjadi lepas sehingga merugikan penderita.
GENUS BORELIA
Borelia adalah spirochaeta (lebih besar dan lebih panjang daripada Treponema), bergerak aktif secara rotasi sepanjang sumbunya. Umumnya hidup komensal pada mukosa mulut dan pada keadaan ganggrenous atau ulseratif dari mulut, tenggorokan atau genital.
Borelia recurentis
Merupakan penyebab penyakit relapsing fever (febris recurentis). Penyakit ini dapat desebabkan pula oleh Borrelia duttonii dan Borrelia nouyi.
Morfologi dan Identifikasi
Bakteri ini berbentuk spiral, panjang 10-30 um dengan diameter 0.3 um, sangat fleksibel, bergerak secara rotasi atau berliku-liku. Dapat diwarnai dengan pewarnaan Giemsa, Wright, Gram atau dengan impregnasi perak.
Karakteristik Pertumbuhan
Kuman ini dapat tumbuh pada media cair yang mengandung darah, serum, cairan asites yang mengandung darah dan ginjal kelinci dan telur berembrio lebih cepat berkembang.
Pada suhu 40 C,baik dalam darah atau kultur, kuman tahan hidup sampai beberapa bulan.
Struktur Antigen
Pada uji serologik terhadap penderita biasanya terdapat zat anti aglutinin,  zat anti ikatan komplemen dan zat anti litik dalam titer tinggi.  Struktur antigen ini sering berubah ubah sehingga terjadi berbagai variasi,  diduga bahwa terjadinya relaps dari penyakit ini disebabkan karena berkembangnya varian tersebut sehingga hospes harus membentuk zat anti baru.
Patologi
Hasil otopsi penderita menunjukkan bahwa kuman banyak ditemukan di limpa,hati, focus-fokus nekrotik parenkhim alat-alat lain, dalam lsi berdarah dari ginjal dan dalam saluran pencernaan. Kadang-kadang pada penderita yang menunjukkan gejala meningitis, kumannya dapat ditemukan dalam liquor dan jaringan otak.
Patogenesis dan Gejala Klinik
Setelah masa inkubasi 3-10hari timbul demam disertai menggigil yang berlangsung antara 3-5 hari, kemudian panas turun penderita tampaktidak sakit,  hanya lemah. Kemudian setelah 4-10 hari timbul lagi demam dengan menggigil, sakit kepala hebat dan rasa tidak enak badan.  Hal demikian dapat terjadi 3-10 kali dengan derajat kesakitan yang makin berkurang.  Selama fase demam,terutama waktu panas tinggi kuman banyak terdapat dalam darah, setelah panas turun kuman tidak ditemukan dalam darah.  Kuman dapat pula ditemukan dalam urine dalam jumlah  sedikit.
Diagnosa Laboratorik
Bahan pemeriksaan berupa darah, diambil sewaktu terjadi demam tinggi.  Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pewarnaan Giemsa atau Wright,  tampak kuman diantara sel-sel darah merah.  Dapat pula digunakan hewan percobaan, darah disuntikkan intraperitoneal pada tikus putih atau subkutan pada kera.  Setelah 2-4 hari diambil darahnya kemudan diwarnai dan diamati  dibawah mikroskop.  Selama fase demam biasanya albuminuria positif,  lekosit meninggi sampai 10.000-20.000.
Kekebalan
Sifat kekebalan terhadap kuman ini sangat pendek.
Pengobatan
Dengan penisilin, eritromisin atau tetrasiklin.  Evaluasi hasil klinik sulit dilakukan karena adanya remisi spontan yang bervariasi.
Epidemiologi
Relapsing fever merupakan penyakit endemic pada banyak  tempat dunia.  Sebagai reservoir utama adalah hewan pengerat (rodensia) sebagai sumber infeksi adalah kutu dari genus Ornithodorus.  Penyebaran insiden musiman penyakit ini ditentukan oleh ekologi kutu di berbagai daerah. Berdasarkan vektornya,  penyakit ini dibagi dalam 2 golongan yakni: Tick borne relapsing fever,  Loose borne relapsing fever. Keduanya terdapat secara endemik.
  1. Tick Borne Replapsing Fever : umumnya terjadi secara sporadic. Penularan pada manusia terjadi melalui gigitan tick infektik, antara lain Ornithodorus parkeri, O. hermsi, O rudis, dan lain-lain. Apabila kutu kepala menghisap darah penderita, kutu akan terinfeksi setelah mengisap darah , 4-5 hari kemudian kutu akan dapat merupakan sumber infeksi  baru bagi orang lain. Tick tetap infektif slama hidupnya dan dapat menularkan kuman ini kepada keturunan berikutnya secara tranovarial.
  2. Loose Borne Replapsing Fever : umumnya terjadi secara epidemik, walaupun kadang-kadang terjadi secara sporadic. Penularan pada manusia terjadi tidak melalui gigitan kutu (Pediculus vestimenti corporis), tetapi melalui garukan sehingga bagian infektif kutu masu melalui lesi garukan sehingga bagian infektif kutu masuk malaui lesi garukan.
Epidemi penyakit ini dipengaruhi oleh jumlah populasi kutu kepala , kepadatan penduduk, malnutrisi dan musim dingin. Pada daerah endemic infeksi pada manusia dapat terjadi akibat berhubungan dengan darah atau jaringan yang berasal dari roden yang terinfeksi. Angka kematian pada penyakit endemic rendah, tetapi pada endemic dapat mencapai 30 %.
Pencegahan
Pencegahan didasarkan pada usaha menghindarai kutu atau kutu kepala dan mnghilangkan kutu dengan menggunakan insektisida terhadap tick  (sengkenit) dan kutu manusia. Sampai saat ini belum ditemukan vaksin untuk mencegah penyakit ini.

Berrelia vincentii
Sering ditemukan bersama dengan kuman fusobacterium. Bacteriodes pada eksudat pseudomembran tonsil/faring penyakit Vincent sangina, gingivitis ulceratif akuta, abses paru, lesi ulceratif pada genital, ulkus tropikus (ulkus kulit menahun).
Borrelia vincentii dan Fusobacterium fusiforme merupakan penghuni normal dan hidup secara simbiotik pada gusi sehat. Apabila terjadi kerusakan gusi karena trauma, kekurangan vitamin C, infeksi oleh Herpes simpleks, infasi Streptococcus hemoliticus atau bakteri, maka kedua kuman ini mnjadi patogen dan menyebabkan infeksi sekunder. Jadi sumber penularan pada penyakit ini adalah factor endogen.
Biakan
Perlu pembebiakan secara obligat anaerob dalam media yang mengandung asites.
Diagnosa Laboratorik
Secara mikroskopik bahan pemeriksaan berupa hapusan ulkus dalam mulut diwarnai dengan karbolfukhsin, kemudian dilihat dibawah mikroskop. Bila kedua jenis kuman ditemukan cukup banyak, apalagi dengan jumlah lekosit yang tinggi, maka dapat didiagnosa sebagai Vincent’s infection.
Biakan dilakukan hanya untuk mengetahui adanya Streptococcus hemoliticus dan kuman difteri.
Pengobatan
Biasanya digunakan Penisilin atau Tetrasiklin.
Borrelia burdorferi
Merupakan penyebab penyakit lime (nama kota di Amerika) terutama dipantai timur Amerika Serikat, juga di Eropa dan Autralia yang terjadi dimusim panas. Ditandai dengan lesi melingkar dikulit kemudian berkembang meluas. Sering disertai sakit kepala, demam, kaku duduk, mialgia, artalgia dan limadenopati. Beberapa bulan selanjutnya gejala neurologik dan arthritis berkurang.
Penularan terjadi melalui ixodid tick. Pembentukan IgM terjadi pada 3-6 minggu setelah serangan penyakit dan titernya berhubungan dengan aktivitas penyakit. Artritis dan gangguan neurologik kemungkinan disebabkan oleh reaksi komplek antigen-antibodi. Pemberian penisilin atau tetrasiklin secara dini memberikan respon yang baik terhadap gejala yang timbul pada penyakit lyme.
FAMILIA LEPTOSPIRACEAE
GENUS LEPTOSPIRA
Genus Leptospira dibagi dalam 2 golongan, yakni :
  1. Leptospira interrogans (strain parasit) : patogen bagi hewan dan manusia. Terdapat lebih dari 100 tipe.
  2. Leptospira biflexa (strain saprofit) : hidup dalam air, tidak menyebabkan sakit pada hewan dan dapat tumbuh dalam media dalam serum.
Morfologi dan Identifikasi
Kuman ini mempunyai struktur yang fleksibel berupa benang-benag halus berbentuk spiral dengan satu atau kedua ujungnya melengkung sehingga dapat berbentuk tongkat, huruf C atau S. Panjangnya bervariasi antara 6-20 u, diameter 0.5 u. Bentuk vegetative dapat sampai 40 u panjangnya. Bergerak secara rotasi kadang-kadang meluncur atau bergerak seperti cambuk (whipping motion). Gerak ini harus dapat dibedakan dengan gerak Brownian dari pseudo leptospira. Dapat diwarnai dengan Giemsa, Anilin atau Impregnasi perak.
Karakteristik Pertumbuhan
Sumber utama tenaga kuman ini berasal dari oksidasi asam lema rantai panjang, sedang kebutuhan nitrogen berasal dari garam ammonium.
Berkembang biak dengan pembelahan melintang. Tumbuh baik pada suhu 370 C. pH 7.2 dalam suasana aerob. Isolasi harus dalam media yang mengandung serum (kelinci, marmut) antara lain agar pada semi solid Noguchi, Fletcher atau media cair dari Vervoort, Stuart, Korthof.
Strain parasit tidak dapat tahan lama diluar tubuh hospes. Dalam media Vervoot pada temperatur kamar, ditempat gelap tampa subkultur dapat bertahan hidup sampai beberapa tahun. Pada agar semi solid Noguchi tetap virulen untukbeberapa tahun, sensitive terhadap asam. Mati pada 500 C dalam 10 menit. Pada –700 C tahan bertahun-tahun tampa kehilangan sifat virulen. Agak resisten terhadap desinfektan seperti : streptomisin, tetrasikin, dan eritromisin.
Patogenesis dan Cara Penularan
Leptospira merupakan penyakit primer pada hewan (zoonosis) dan manusia terinfeksi secara kebetulan. Hospes reservoir adalah hewan mengerat, kadang-kadang anjing, babi, sapi atu kuda, dsb. Setiap serotipe mempunyai hospes predileksi tertentu, misalnya :
Leptospira icterohaemorrhagiae, Ratus norwegius, Leptospira hebdomadis , Mocrotus, Montabelli
Pada hewan kuman ini berada didalam tubuli kontorti ginjal tampa menimbulkan gejala dan diekskresi bersama urinya. Penularan terjadi karena manusia menelan makanan/ minuman yang telah terkontaminasi dengan urine tikus infektif, atau berenang.
Gambaran Klinik
Sifat infeksi mringan/subklinis tampa ikterus, dapat berakibat fatal. Infeksi Leptospira pada manusia menimbulkan gambaran klinik berupa : demam tinggi akut disertai menggigil, sakit kepala, nyeri otot terutama punggung dan betis, konyungtivitis, hepatospenomegali. Pada keadaan demam kuman dalam darah dapat menyebar kehepar (menimbulkan nekrosis  ikterus), ginjal (menimbulkan pendarahan dan nekrosis timbul albuminuria), Susunan syaraf pusat (menimbulkan meningitis aseptika benigna) atau oto dan kulit (menimbulkan rasa nyeri).
Diagnosa Laboratorik
Dalam minggu pertama penyakit sering kuman terdapat banyak didalam darh, Oeptosperemia jarang terjadi setelah hari ke 8. Pada minggu ke 4-6 setelah gejala pertama kuman terdapat dalam urine. Didalam urine asam kuman mengalami lisis sehingga urine harus segera diperiksa dan semalam sebelumnya penderita diberi Na bikarbonat. Pada fase permulaan kadang-kadang kuman dijumpai pada cairan spinal. Sebagai penentu diagnosa perlu diamati adanya kenaikan titer zat anti selama sakit. Pada minggu pertama antibody dalam serum meningkat, pada minggu ke 2-3 titer meningkat sedangkan setelah minggu ke 3 titer antibody menurun lagi dan kadang-kadang titer yang rendah masih terdapat dalm beberapa tahun.


Bahan Pemeriksaan
Bahan pemeriksaan dapat berupa :
  1. Darah (minggu pertama)
Mikroskopik : 10 ml darah + 1 ml 1% Na oksalat, diputar 500 putaran/menit. Satu tetes plasma diamati dibawah mikroskop medan gelap. Endapanya disuntikan pada marmot secara intraperitoneal.
Biakan : darah atau endapan ditanam pada media Kortof.
Hewan percobaan: darah, plasma atau urine disuntikkan, setiap hari diperiksa cairan peritoneal dibawah mikroskop medan gelap, bila hasilnya positif diambil jantung hewan ditanam pada media Kortof.
  1. Urine (pada minggu ke 2-3)
Mikroskopik: Urine diputar selama 3000 putaran/menit selama 10 menit. Endapanya diperiksa dibawah mikroskop medan gelap.
Biakan : tidak dapat langsung dibiakkan karena urin berisi bermacam-macam kuman sehingga pertumbuhan Leptospira akan tertkan. Pada urine alkalis disuntikan intraperitoneal, bila positif diambil darah jantung dan ditanam pada media Korthof.
Diagnosa Serologik
Titer zat anti aglutinim dapat mencapai lebih dari 1/1000, maksimal pada minggu ke 5-8 setelah infeksi.
  1. Uji aglutinasi – lisis dari Schuffuer dan Wolff. Serum penderita dalam beberapa pengenceran dicampur dengan suspensi kuman, dieramkan pada 320 –370 C selama 3 jam, kemudian npada suhu kamar selama 1 jam. Diambil 1 tetes dari setiap campuran diamati terjadinya aglutinasi dan lisis dibawah mikroskop medan gelap.
  2. Uji aglitinasi dari Broom : Prosedurnya sama dengan metode diatas tetapi kuman dimatikan dahulu dengan formalin. Sebelum dibaca campuran tersebut disimpan dalam almari pendingin selama semalam.
  3. MetodaFlouresen Antibodi : Sangat baik untuk mendeteksi adanya leptospira dalam urine atau jaringan.
Penilaian Titer Diagnostik :
Mengigat banyaknya serotip yang menimbulkan reaksi silang, maka penilaian tetrasi serum tunggal harus berhati-hati, sebaiknya mengamati kenaikn titer dari sepasang serum.

Pengobatan :
Pemberian antibiotika sebaiknya dilakukan pada stadium lanjut kurang memuaskan. Antibiotika yang dapat dipilih adalah penisilin, tetrasiklin atau eritromisin.
Epidemiologi
Mengigat Leptospirosis merupakan penyakit primer pada hewan, maka pencegahan utama adalah menghindarkan diri dari kontak dengan bahan infektif yng berasal dari hospes reservoir. Orang yang sering terkena penyakit ini adalah mereka yang sering kontak dengan air yang tercemar kotoran tikus antara lain petani, tukang pembersih selokan, perenang.
Beberapa strain penyebab penyakit lain :
L. icterohaemorrhagiae : menyebabkan Weill diease
hospes reservoir : Rattus norvegicus, anjing, babi, kuda.
L. canicola                     : menyebabkan Canicola fever.
hospes reservoir : anjing, kuda, dan sapi.
L. pyrogenes                   : menyebabkan febrile spirochaetosis
hospes reservoir : Rattus brevicaudatus
L. hebbdomadis              : menyebabkan seven-day fever
hospes reservoir : Microtus montebelloi, anjing, sapi
L. Pomona                     : menyebabkan Swineherd’s disese
hospes reservoir : babi, sapi, kuda
L. bataviae                    : menyebabkan Indonesia Wei’s disease
hospes reservoir : Rattus norvegicus, babi, kucing dan anjing
Rattus norvegicus merupakan maintenance carrier artinya persentasi isolasi dari urine sama tingginya dengan persentase aglutinasi positif dari darah. Sangat berbahaya bagi manusia, tetapi karena hidupnya selalu didalam selokan infeksi pada manusia jarang terjadi. Sedangkan Rattus rattus diardi (tikus rumah) adalah suatu fleeting carrier artinya persentase isolasi positif dari urin lebih kecil disbanding persentase aglutinasi positif, tetapi karena tikus ini selau dekat dengan manusia maka dianggap sangat berbahaya bagi manusia.
Spirillum minor
Spirochetes (atau Spirochaeta) adalah bakteri gram-negatif, motil, berbentuk ramping dan berlekuk-lekuk. [1] Bakteri dengan morfologi unik ini banyak ditemukan di dalam lingkungan akuatik dan hewan.[1] Sel spirochetes tersusun atas protoplasma silinder yang ditutup dengan membran dan dinding sel. [1] Bagian endoflagela dan protoplasma silinder akan dibungkus dengan berlapis-lapis membran (multilayer) yang bersifat fleksibel. [1] Membran ini disebut sebagai lapisan terluar (bahasa Inggris: outer sheat). [1]
Daftar isi
[sunting] Motilitas (Pergerakan)
Motilitas atau pergerakan bakteri ini diatur oleh satu atau beberapa flagela yang ada di setiap bagian kutub bakteri tersebut. [2] Pada spirochetes, flagelata nya berlokasi di periplasma sel dan disebut sebagai endoflagela [2] Spirochetes memiliki model motilitas yang unik[2] Endoflagela yang dimilikinya terdapat pada bagian ujung bakteri ini dan dapat mengalami pemanjangan hingga 2/3 panjang sel[2] Bakteri ini bergerak dengan gerakan merenggangkan atau melenturkan dengan memanfaatkan rotasi endoflagela. [2] Ketika kedua endoflagela berotasi dengan arah yang sama dan protoplasma silinder bergerak dengan arah yang berlawanan maka sel spirochetes dapat bergerak atau berpindah. [2].
[sunting] Klasifikasi
Berdasarkan habitat, patogenisitas, filogenik, serta sifat morfologis dan fisiologisnya, spirochetes dapat dibedakan menjadi 8 genus. [1]
[sunting] Spirochaeta dan Christispira
Spirochaeta memiliki ciri-ciri anaerobik dan aerobik fakultatif serta dapat hidup bebas di lingkungan akuatik seperti air dan lumpur sungai, danau, lautan, dan tambak. [1] Contohnya adalah S. plicatilis yang banyak terdapat di air tawar dan habitat lautan yang mengadung H2S. [1] Contoh lainnya adalah S. stenostrepa dan S. aurantia.[1] Sementara itu, Christispira tersebar pada beberapa bentuk kristal dari hewan moluska seperti tiram dan kerang. [1] Apabila hewan moluska tersebut bergerak atau berotasi maka kehadiran bakteri Christispira dapat diamati secara langsung.[1] Hal ini dikarenakan ukuran tubuhnya bakteri tersebut tergolong cukup besar.[1]
[sunting] Treponema
Treponema adalah golongan spirochetes yang bersifat anaerobik dan merupakan parasit pada manusia dan hewan (disebut juga bakteri komensal)[3] Contoh spesies Treponema adalah T. pallidum, T. denticola, T. primita, T. azotonutricium, T. saccharophilum, dan lainnya. [3] T. pallidum merupakan penyebab penyakit sifilis. Spesies ini berdiameter 0.2 µm, bersifat mikroaerofil, dan memiliki sistem sitokrom. [3] T. denticola merupakan salah satu bakteri komensal pada rongga mulut manusia yang dapat memfermentasikan asama amino seperti sistein dan serin untuk pembentukan asam asetat, CO2, NH3, dan H2S. Spesies T. saccharophilum dapat hidup pada organ pencernaan ruminansia berupa rumen yang bersifat anaerob.[1] Bakteri ini berperan dalam konversi polisakarida tanaman menjadi asam lemak volatil sebagai sumber energi hewan ruminansia[1]. T. saccharophilum dapat memfermentasi pektin, pati, inulin, dan polisakarida tanaman lainnya.[1]
[sunting] Leptospira dan Leptonema
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/0/08/Leptospirosis_in_kidney.jpg/220px-Leptospirosis_in_kidney.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.19/common/images/magnify-clip.png
Hasil fotomikrograf dari ginjal penderita leptospirosis.
Kedua genus ini terdiri dari bakteri-bakteri aerob yang meneggunakan asam lemak rantai panjang, seperti asam oleat sebagai sumber karbon dan donor elektron. Karakteristik Leptospira adalah tipis, melilit, dan biasanya salah satu ujungnya membengkok membentuk kait. Hewan rodensia, anjing, dan babi merupakan beberapa inang alami lepstopira.[4] Contoh dari Leptospira adalah L. biflexa yang merupakan sel bebas dan L. interrogans yang merupakan mikroorganisme parasit[4]. Pada manusia, Leptospira dapat menyebabkan leptospirosis, yaitu suatu kelainan yang disebabkan akumulasi bakteri ini di ginjal dan dapat menyebabkan gagal ginjal hingga kematian[4]. Leptospira dapat masuk ke dalam tubuh melalui membran mukous, ataupun kulit[4]. Setelah melakukan multiplikasi di berbagai tempat dalam tubuh, bakteri tersebut akan terakumulasi di ginjal dan keluar dari tubuh melalui urin[4]. Untuk mengeliminasi bakteri ini dari ginjal, dapat dilakukan terapi menggunakan penisilin, streptomisin, atau tetrasiklin[4]. Pencegahan penularan penyakit ini dapat dilakukan dengan melakukan vaksinasi distemper-leptospira-hepatitis pada hwan peliharaan di rumah[4].
[sunting] Borrelia
Sebagian besar spesies Borrelia merupakan patogen pada hewan dan manusia.[5] Salah satunya adalah B. recurrentis yang menyebabkan demam kambuh (relapsing fever) pada manusia.[5] Penyakit ini ditularkan melalui bantuan vektor berupa serangga seperi kutu di tubuh manusia.[5] Spesies B. burgdorferi juga diketahui dapat menyebabkan penyakit Lyme yang menginfeksi manusia dan hewan melalui perantaraan kutu.[6] Dalam industri peternakan, Borrelia menjadi salah satu ancaman karena dapat menyerang hewan ternak seperti burung, kuda, dan domba[5].

[sunting] Referensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar