Kamis, 24 Mei 2012

RENCANA AKSI PEMBINAAN GIZI MASYARAKAT (RAPGM) TAHUN 2010 – 2014

RENCANA AKSI PEMBINAAN GIZI MASYARAKAT (RAPGM)
TAHUN 2010 – 2014

Oleh : DR. Minarto, MPS
(Direktur Bina Gizi, Ditjen Bina Gizi dan KIA)
Komitmen pemerintah untuk mensejahterakan rakyat nyata dalam peningkatan kesehatan termasuk gizinya. Hal ini terbukti dari penetapan perbaikan status gizi yang merupakan salah satu prioritas Pembangunan Kesehatan 2010-2014. Tujuannya adalah untuk menurunkan prevalensi kurang gizi sesuai dengan Deklarasi World Food Summit 1996 yang dituangkan dalam Milenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015, yang menyatakan setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi 1990.
Undang-undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya pada Bab VIII tentang Gizi, pasal 141 ayat 1 menyatakan bahwa upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan program perbaikan gizi, yaitu meningkatkan kesadaran gizi keluarga dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat, ada pertanyaan yang menjadi dasar semua upaya yang akan kita lakukan ke depan. “Dimana posisi kita saat ini ?” Walaupun banyak yang sudah kita CAPAI, tetapi masih lebih banyak lagi pekerjaan rumah yang harus kita lakukan.
PERKEMBANGAN MASALAH GIZI MASYARAKAT

Bila besaran masalah gizi di suatu wilayah berada diatas ambang batas yang ditentukan, maka masalah  tersebut dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat. Tabel ambang batas masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat dipergunakan pentahapan dan prioritas perencanan perbaikan gizi
Ambang batas masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat

A. Kurang Energi dan Protein (KEP)
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan besaran  masalah KEP di Indonesia, yaitu gizi kurang, pendek dan kurus. Ke-tiga  bentuk masalah KEP tersebut mempunyai riwayat dan pendekatan pemecahan yang berbeda.  Secara umum besaran masalah KEP pada balita digambarkan paga grafik berikut.
Prevalensi Gizi Kurang Pada Balita
Sumber : Riskesdas 2007
Prevalensi gizi kurang tahun 2007 secara nasional sebesar 18,4%, yang berarti bahwa target RPJMN 2005-2009 yaitu penurunan prevalensi gizi kurang menjadi  20% dapat dicapai. Pencapaian menurut wilayah (propinsi dan kabupaten/kota) sangat bervariasi. Pada Lampiran 2, dapat dilihat bahwa beberapa propinsi seperti Propinsi Bali, DIY, DKI Jakarta dan Kepulauan Riau mempunyai prevalensi dibawah 15%, sementara  Propinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah dan Maluku masih mempunyai prevalensi diatas 25%. Prevalensi gizi kurang juga sangat bervariasi antar perkotaan – perdesaan, antar tingkat ekonomi, dan antar tingkat pendidikan.
Selain masalah gizi kurang Riskesdas juga mengungkap tingginya prevalensi pendek pada anak balita sebesar 36,8%, prevalensi kurus 13,6% dan prevalensi balita gemuk 12,2%. Gambaran prevalensi gizi kurang, pendek,  kurus dan gemuk dapat dilihat pada lampiran 2. Status gizi anak sangat terkait dengan status gizi ibu hamil. Prevalensi ibu hamil yang mengalami Kurang Energi Kronik (KEK) 2007 diperkirakan  sebesar 13,6 %. Ibu hamil KEK akan beresiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR).
Upaya-upaya yang  berkaitan dengan penanggulangan masalah gizi kurang  antara lain penyelenggaraan posyandu, pemberian ASI eksklusif dan MP ASI serta tatalaksana gizi buruk  yang akan dibahas sebagai berikut.
Kunjungan ke Posyandu (D/S)
Cakupan penimbangan balita di Posyandu (D/S) merupakan indikator yang  berkaitan dengan cakupan pelayanan gizi pada balita, cakupan pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi serta prevalensi gizi kurang.
Semakin tinggi cakupan D/S, semakin tinggi cakupan vitamin A, semakin tinggi cakupan imunisasi dan semakin rendah prevalensi gizi kurang
Hasil Riskesdas menunjukan secara nasional cakupan penimbangan balita (anak pernah ditimbang di Posyandu sekurang-kurangnnya satu kali selama sebulan terakhir) di posyandu sebesar 74,5%.
Propinsi dan cakupan penimbangan balita di Posyandu
Frekuensi kunjungan balita ke Posyandu semakin berkurang dengan semakin meningkatnya umur anak. Sebagai gambaran proporsi anak 6-11 bulan yang ditimbang di Posyandu 91,3%, pada anak usia 12-23 bulan turun menjadi 83,6%, dan pada usia 24-35 bulan turun menjadi 73,3%.
Masalah yang berkaitan dengan kunjungan Posyandu antara lain tersedianya  dana operasional untuk menggerakkan kegiatan Posyandu, tersedianya sarana dan prasarana  serta bahan penyuluhan belum memadai, pengetahuan kader masih rendah dan  kemampuan petugas dalam pemantauan pertumbuhan serta  konseling masih  lemah, masih kurangnya pemahaman keluarga dan masyarakat akan manfaat Posyandu serta  masih  terbatasnya pembinaan kader.
Pemberian ASI dan MP-ASI
Cara pemberian makanan pada bayi  yang baik dan benar adalah menyusui bayi secara eksklusif sejak lahir sampai dengan umur  6 bulan dan meneruskan menyusui anak sampai umur 24 bulan. Mulai umur 6 bulan, bayi mendapat makanan pendamping ASI yang bergizi sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembangnya. Kementerian Kesehatan telah menerbitkan surat keputusan Menteri Kesehatan nomor: 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI secara eksklusif pada bayi di Indonesia.
Secara nasional cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia berfluktuasi dan menunjukkan kecenderungan menurun  selama 3 tahun terakhir. Pada grafik terlihat bahwa cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0–6 bulan turun dari 62,2% tahun 2007 menjadi 56,2% pada tahun 2008. Sedangkan cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan turun dari 28,6% pada tahun 2007  menjadi 24,3% pada tahun 2008.
Persentase Bayi Umur 0-6 Bulan dan Umur 6 Bulan yang diberi ASI Saja 2004-2008
Sumber: Susenas 2004-2009
Cakupan pemberian ASI eksklusif dipengaruhi beberapa hal, terutama masih sangat terbatasnya tenaga konselor ASI, belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Pemberian ASI serta belum maksimalnya kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi, dan kampanye terkait pemberian ASI maupun MP-ASI, masih kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana KIE ASI dan MP-ASI dan belum optimalnya membina kelompok pendukung ASI dan MP-ASI.
1. Tatalaksana Balita Gizi Buruk
Gizi buruk terjadi akibat dari kekurangan gizi tingkat berat, yang bila tidak ditangani secara cepat, tepat dan komprehensif dapat mengakibatkan kematian. Perawatan  gizi buruk dilaksanakan dengan pendekatan tatalaksana anak gizi buruk rawat inap di Puskesmas Perawatan, Rumah Sakit dan Pusat Pemulihan Gizi (Terapheutic Feeding Center ) sedangkan Gizi buruk tanpa komplikasi di lakukan perawatan rawat jalan di Puskesmas, Poskesdes dan Pos pemulihan gizi berbasis masyarakat (Community Feeding Centre /CFC).
Kenyataan di lapangan, kasus gizi buruk sering ditemukan terlambat dan atau ditangani tidak tepat. Hal ini terjadi karena belum semua Puskesmas terlatih untuk melaksanakan tatalaksana gizi buruk. Selain itu kurangnya ketersediaan sarana dan prasana untuk menyiapkan formula khusus untuk balita  gizi buruk, serta kurangnya tindak lanjut pemantauan  setelah balita pulang ke rumah.
A. Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY)
GAKY  adalah sekumpulan gejala yang timbul karena tubuh seseorang kurang unsur Iodium secara terus-menerus dalam jangka waktu lama. Kekurangan Iodium saat ini tidak terbatas pada gondok dan kretinisme saja, tetapi ternyata kekurangan Iodium berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia secara luas, meliputi tumbuh kembang, termasuk perkembangan otak sehingga terjadi penurunan potensi tingkat kecerdasan (Intelligence Quotient=IQ).
Indikator untuk memantau masalah GAKY saat ini adalah Ekskresi Yodium dalam Urine (EYU)  sebagai refleksi asupan yodium,  cakupan rumah tangga mengonsumsi garam beryodium dan pencapaian 10 indikator manajemen.  Bila proporsi penduduk dengan EYU<100 µg/L dibawah 20% dan cakupan garam beryodium 90% diikuti dengan tercapainya indikator manajemen maka masalah GAKY di masyarakat tersebut sudah terkendali.
Hasil Studi Intensifikasi Penanggulangan GAKY (IP-GAKY) tahun 2003, dan hasil Riskesdas 2007 mendapatkan hasil yang konsisten, bahwa rata-rata EYU  sudah tinggi, dan proporsi EYU<100  µg/L telah dibawah 20%.  Direktur Jenderal  Bina Kesmas telah mengeluarkan edaran Nomor: JM.03.03/BV/2195/09 Tanggal 03 Juli 2009 tentang penghentian suplementasi kapsul minyak iodium pada sasaran (WUS, ibu hamil, ibu menyusui dan anak SD/MI). Disisi lain  cakupan Rumah Tangga dengan garam cukup Iodium rata-rata nasional baru mencapai 62,3%. Terdapat disparitas antar daerah cukup tinggi dimana persentase cakupan terendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (27,9%), dan tertinggi Provinsi Bangka Belitung (98,7%).
Masalah penggunaan garam beryodium di masyarakat antara lain karena belum optimalnya penggerakan masyarakat dan kampanye dalam mengkonsumsi garam beryodium, serta dukungan regulasi yang belum memadai. Disamping itu masalah lain adalah belum rutinnya pelaksanaan pemantauan garam beryodium di masyarakat secara terus menerus.
B. Kurang Vitamin A (KVA)
Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting, berfungsi untuk penglihatan, pertumbuhan dan dan meningkatkan daya tahan tubuh. Secara nasional masalah kekurangan vitamin A pada balita secara klinis sudah tidak merupakan masalah kesehatan masyarakat. Studi masalah gizi mikro di 10 propinsi tahun 2006, diperoleh gambaran prevalensi xeropthalmia pada balita 0,13% dan indeks serum retinol kurang dari 20µg/dl adalah 14,6%. Hasil studi tersebut menggambarkan terjadinya penurunan, jika dibandingkan dengan hasil survei vitamin A pada tahun 1992.
Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa cakupan suplementasi vitamin A secara nasional pada anak umur 6-59 bulan adalah 71,5%. Masih ada 3 propinsi dengan cakupan di bawah 60%, 16 propinsi di bawah 70% dan hanya 4 propinsi dapat mencapai 80%. Berdasarkan laporan dari provinsi tahun 2009, cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak  umur 12-59 bulan sebesar  79,2%. Provinsi dengan cakupan > 85 % adalah DIY, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Selatan sedangkan provinsi Papua Barat, Papua dan Maluku cakupan pemberian kapsul vitamin A < 60% .
Masalah manajemen dan penyediaan kapsul vitamin A, merupakan masalah yang dihadapi dalam peningkatan cakupan pemberian kapsul vitamin A. Disamping itu belum optimal pelaksanaan kampanye bulan kapsul vitamin A di setiap jenjang administrasi.
C. Anemia Gizi Besi (AGB)
Studi masalah gizi mikro di 10 propinsi tahun 2006 masih dijumpai 26,3% balita yang menderita anemia gizi besi dengan kadar haemoglobin (Hb) kurang dari 11,0 gr/dl dan prevalensi tertinggi didapat di Propinsi Maluku sebesar 36%. Sementara itu dari SKRT 2001, prevalensi ibu hamil yang menderita anemia gizi besi adalah 40,1%. Keadaan ini mengindikasikan anemia gizi besi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Penanggulangan masalah anemia gizi besi saat ini terfokus pada  pemberian tablet  tambah darah (Fe).  Ibu Hamil mendapat tablet tambah darah 90 tablet selama kehamilannya. Berdasarkan laporan dari provinsi tahun 2009, cakupan pemberian tablet tambah darah (Fe3) pada ibu hamil pada tahun 2009 rata-rata nasional 68,5%. Beberapa propinsi seperti provinsi  Bali, Lampung dan NTB, mempunyai cakupan diatas 80%, sementara provinsi Papua Barat, Papua dan Sulawesi Tengah cakupannya dibawah 40%.
Rendahnya cakupan pemberian Fe mungkin disebabkan belum optimalnya koordinasi dengan lintas program terkait khususnya kegiatan Antenatal Care (ANC). Analisis cakupan Fe dan Cakupan ANC (lihat gambar ..) menunjukkan adalah kesenjangan yang besar (missed opportunity) antara cakupan ANC dengan cakupan Fe. Terdapat 8 propinsi yang cakupan ANC dilaporkan diatas 80% tetapi cakupan Fe dibawah 80%. Terdapat 15 propinsi dengan cakupan ANC diatas 80 %, tetapi hanya 7 propinsi dengan cakupan Fe diatas 80%. Artinya,  cakupan Fe di propinsi tersebut dapat ditingkatkan dengan meningkatkan intergrasi pelayanan gizi dan pelayanan kesehatan ibu.
Apa upaya kita ke depan?
Bila kita simak peta ini, kita ingin semua daerah mendapat warna hijau yang artinya prevalensi gizi kurang tidak lebih dari 20%. Itulah yang menjadi cita-cita kita semua sampai tahun 2014, tepatnya prevalensi balita yang gizi kurang turun dari 18.4% menjadi <15 %, prevalensi balita pendek turun dari 36.8% menjadi <32 %.

KEGIATAN POKOK
PENDIDIKAN GIZI
  • Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan petugas dalam memberikan pelayanan dan penanganan gizi yang berkualitas.
  • Memberikan informasi dan pendidikan kepada masyarakat terkait upaya perbaikan gizi
Kegiatan
Pengembangan dan pengadaan  materi KIE gizi, advokasi dan sosialisasi peningkatan pemberian ASI dan MP-ASI, kampanye peningkatan ASI eksklusif, bulan vitamin A, garam beryodium, dan peningkatan pemberian Tablet Fe
Indikator kinerja yang ingin dicapai adalah:
  • Terselenggaranya Kampanye ASI
  • Terselenggaranya kampanye bulan vitamin A
  • Terselenggaranya kampanye pemberian tablet Fe
  • Terselenggaranya kampanye garam beryodium
  • Terselenggaranya Kampanye Posyandu
PENANGANAN MASALAH GIZI
Meningkatkan kualitas penanganan dan penanggulangan masalah gizi agar dapat dikurangi
Kegiatan
Tatalaksana gizi buruk baik rawat inap maupun rawat jalan, pemberian PMT pemulihan balita gizi kurang dan ibu hamil  keluarga miskin / KEK
Indikator kinerja yang ingin dicapai adalah:
  • Seluruh Puskesmas terlatih Tatalaksana Anak Gizi Buruk
  • Tersedianya PMT-Pemulihan untuk balita gizi kurang dan buruk
  • Tersedianya PMT-Pemulihan untuk ibu hamil
  • Tersedianya mineral mix di seluruh Puskesmas
SURVEILENS GIZI
Memantau secara terus menerus pencapaian pelaksanaan kegiatan perbaikan gizi, guna mendapatkan informasi yang akurat dan tepat untuk segera direspon dan ditindak lanjuti pemecahannya.
Kegiatan
Pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, dan desiminasi  informasI serta melakukan tindak lanjut (respon)
Indikator kinerja yang ingin dicapai adalah :
  • Jumlah Kabupaten/Kota yang melaporkan kasus gizi buruk
PERBAIKAN GIZI MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Memotivasi, menggerakkan dan melibatkan masyarakat dalam upaya pembinaan gizi masyarakat.
Kegiatan
Opersional Posyandu melalui Biaya Opersional Kesehatan (BOK), PMT penyuluhan, pertemuan lintas program dan sektor terkait peningkatan fungsi Posyandu, pembinaan dan pelatihan ulang kader posyandu, penggerakkan kelompok pendukung ASI dan MP-ASI dan kelas Ibu.
Indikator kinerja yang ingin dicapai adalah :
  • Seluruh Puskesmas memiliki tenaga terlatih pemantauan pertumbuhan.
  • Seluruh Puskesmas membina kelompok pendukung ASI.
  • Terselenggaranya pembinaan kader di seluruh Posyandu.
DUKUNGAN MANAJEMEN
Memfasilitasi dan memperlancar proses mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program pembinaan gizi masyarakat
Kegiatan
Perencanaan gizi, Penyusunan Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK), Jaringan info Pangan dan Gizi (JIPG), rapat kerjasama lintas sektor dan lintas program serta  monitoring evaluasi
Indikator kinerja yang ingin dicapai adalah:
  • Terselenggaranya fasilitasi dan bimbingan teknis di seluruh propinsi
  • Tersedianya materi KIE gizi untuk Puskesmas dan Posyandu
  • Tersusunnya NSPK dalam rangka program pembinaan gizi, yang terdiri dari: PP tentang ASI (mandat UU No. 36, pasal 128-129), Standar Angka Kecukupan Gizi (1), Standar Mutu Gizi (3), Standar Pelayanan Gizi (12) dan Standar Tenaga Gizi (1)


Comments are closed.

Log in

Tidak ada komentar:

Posting Komentar